Minggu, 10 April 2011

Arti Definisi / Pengertian Merkantilisme Serta Aspek Politik Mercantilism - Sejarah Dunia
Sat, 05/01/2008 - 12:48am — godam64

Merkantilisme adalah suatu sistem politik ekonomi yang sangat mementingkan perdagangan internasional dengan tujuan untuk memperbanyak aset dan modal yang dimiliki suatu negara. Merkantilisme tertuang dalan peraturan negara yang berbentuk proteksionime dan politik kolonial demi neraca perdagangan yang menguntungkan. Pemerintah negara mendukung ekspor dengan insentif dan menghadang import dengan tarif.

Kekayaan dan kemakmuran suatu negara diukur dari perbandingan ekspor impornya yang digambarkan dengan jumlah kapital dari logam mulia, mineral berharga dan komoditas lainnya. Seolah-olah ekspor dan impor berada dalam suatu timbangan di mana jika ekspor berlebih meka neraca perdangangan dianggap untung. Dengan adanya keuntungan maka terjadi peningkatan pendapatan negara yang harus dibayar & diimbangi secara tunai dengan emas.

Contoh raja pengikut/ penganut sistem merkantilisme :
1. Raja Karel V dari negara Spanyol
2. Ratu Elizabeth dari Inggris
3. Prinsmaurits berasal dari Belanda
4. Louis XIV dari Prancis

Aspek-Aspek Politik Merkantilisme :
1. Ekonomi : Berupaya mendapatkan emas sebanyak-banyaknya.
2. Tariff : pembatasan impor dengan tarif tinggi untuk barang dari negara lain.
3. Industri : Menggalakkan industri barang jadi untuk mengingkatkan ekspor.
4. Perkapalan : Act of Navigation sangat membantu perkapalan Inggris.
5. Penduduk : Meningkatkan jumlah penduduk agar bisa meningkatkan jumlah output produk Industri.
6. Kolonial : Negara daerah jajahan dipergunakan sebagai penjual hasil dan laveransi bahan dasar.
ISLAM

حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ مُوسَى قَالَ أَخْبَرَنَا حَنْظَلَةُ بْنُ أَبِي سُفْيَانَ عَنْ عِكْرِمَةَ بْنِ خَالِدٍ عَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا

قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بُنِيَ الْإِسْلَامُ عَلَى خَمْسٍ شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ وَإِقَامِ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ
Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Musa dia berkata, telah mengabarkan kepada kami Hanzhalah bin Abu Sufyan dari ‘Ikrimah bin Khalid dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda: “Islam dibangun diatas lima (landasan); persaksian tidak ada ilah selain Allah dan sesungguhnya Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, haji dan puasa Ramadhan.” (Bukhari : 7 )
Imam Abu Daud

Biograpi Imam Abu Daud

Ada 3 pendapat tentang nama lengkap Abu Daud :
- Menurut Abdurrahman bin Abi Hatim, nama Abu Daud adalah Sulaiman bin al Asy’ats bin Syadad bin ‘Amru bin ‘Amir.
- Menurut Muhammad bin Abdul ‘Aziz Al Hasyimi, nama Abu Daud adalah Sulaiman bin al Asy’ats bin Basyar bin Syadad.
- Menurut Ibnu Dasah dan Abu ‘Ubaid Al Ajuri, nama Abu Daud adalah Sulaiman bin al Asy’ats bin Ishaq bin Basyir bin Syadad. Pendapat ini di perkuat oleh Abu Bakr Al Khathib di dalam Tarikhnya. Dan dia dalam bukunya menambahi dengan Ibnu ‘Amru bin ‘Imran al Imam, Syaikh as Sunnah, Muqaddimu al huffazh, Abu Daud al-azadi as-Sajastani, muhaddits Bashrah.
Nasab beliau:
1. Al Azadi, yaitu nisbat kepada Azd yaitu qabilah terkenal yang ada di daerah Yaman.
2. As-Sijistani, ada beberapa pendapat dalam nisbah ini, diantaranya:
Ada yang berpendapat bahwasan as Sijistani merupakan nisbah kepada daerah Sijistan. Ada juga yang berpendapat bahwa as sijistani merupakan nisbah kepada sijistan atau sijistanah yaitu suatu kampung yang ada di Bashrah.

Tetapi menurut Muhammad bin Abi An Nashr bahwasannya di Bashrah tidak ada perkampung yang bernama as-Sijistan. Namun pendapat ini di bantah bahwa di dekat daerah Ahwaz ada daerah yang disebut dengan Sijistan
As Sam’ani mengutip satu pendapat bahwa as-sijistan merupakan nisbah kepada sijistan, yaitu salah suatu daerah terkenal yang terletak di kawasan Kabul
Abdul Aziz menyebutkan bahwasannya sijistan merupakan nisbah kepada Sistan, yaitu daerah terkenal yang sekarang ada di Negri Afganistan.
Tanggal lahir: Tidak ada ulama yang menyebutkan tanggal dan bulan kelahiran beliau, kebanyakan refrensi menyebutkan tahun kelahirannya. Beliau dilahirkan pada tahun 202 H. Disandarkan kepada keterangan dari murid beliau, Abu Ubaid Al Ajuri ketika beliau wafat, dia berkata: aku mendengar Abu Daud berkata : “Aku dilahirkan pada tahun 202 Hijriah”

Aktifitas beliau dalam menimba ilmu
Ketika menelisik biografi imam Abu Daud, akan muncul paradigma bahwasanya beliau semenjak kecil memiliki keahlian untuk menimba ilmu yang bermanfaat. Semua itu ditunjang dengan adanya keutamaan yang telah di anugerahkan Allah kepadanya berupa kecerdasan, kepandaian dan kejeniusan, disamping itu juga adanya masyarakat sekelilingnya yang mempunyai andil besar dalam menimba ilmu.
Dia semenjak kecil memfokuskan diri untuk belajar ilmu hadits, maka kesempatan itu dia gunakan untuk mendengarkan hadits di negrinya Sijistan dan sekitarnya. Kemudian dia memulai rihlah ilmiahnya ketika menginjak umur delapan belas tahun. Dia merupakan sosok ulama yang sering berkeliling mencari hadits ke berbagai belahan negri Islam, banyak mendengar hadits dari berbagai ulama, maka tak heran jika dia dapat menulis dan menghafal hadits dengan jumlah besar yaitu setengah juta atau bahkan lebih dari itu. Hal ini merupakan modal besar bagi berbagai karya tulis beliau yang tersebar setelah itu keberbagai pelosok negri islam, dan menjadi sandaran dalam perkembangan keilmuan baik hadits maupun disiplin ilmu lainnya.

Rihlah beliau
Iman Abu Daud adalah salah satu Iman yang sering berkeliling mencari hadits ke negri-negri Islam yang ditempati para Kibarul Muhadditsin, beliau mencontoh para syaikhnya terdahulu dalam rangka menuntut ilmu dan mengejar hadits yang tersebar di berbagai daerah yang berada di dada orang-orang tsiqat dan Amanah. Dengan motivasi dan semangat yang tinggi serta kecintaan beliau sejak kecil terhadap ilmu-ilmu hadits, maka beliau mengadakan perjalanan (Rihlah) dalam mencari ilmu sebelum genap berusia 18 tahun.
Adapun negri-negri islam yang beliau kunjungi adalah;
1. Iraq; Baghdad merupakan daerah islam yang pertama kali beliau masuki, yaitu pada tahun 220 hijriah
2. Kufah; beliau kunjungi pada tahun 221 hijriah.
3. Bashrah; beliau tinggal disana dan banyak mendengar hadits di sana, kemudian keluar dari sana dan kembali lagi setelah itu.

4. Syam; Damsyiq, Himsh dan Halb.
5. AL Jazirah; masuk ke daerah Haran, dan mendengar hadits dari penduduknya.
6. Hijaz; mendengar hadits dari penduduk Makkah, kemungkinan besar saat itu perjalanan beliau ketika hendak menunaikan ibadah haji.
7. Mesir
8. Khurasan; Naisabur dan Harrah, dan mendengar hadits dari penduduk Baghlan.
9. Ar Ray
10. Sijistan; tempat tinggal asal beliau, keluar dari sana kemudian kembali lagi, kemudian keluar menuju ke Bashrah.

Guru-guru beliau

Diantara guru beliau yang terdapat di dalam sunannya adalah;
1. Ahmad bin Muhammmad bin Hanbal as Syaibani al Bagdadi
2. Yahya bin Ma’in Abu Zakariya
3. Ishaq binIbrahin bin Rahuyah abu ya’qub al Hanzhali
4. Utsman bin Muhammad bin abi Syaibah abu al Hasan al Abasi al Kufi.
5. Muslim bin Ibrahim al Azdi
6. Abdullah bin Maslamah bin Qa’nab al Qa’nabi al Harits al Madani
7. Musaddad bin Musarhad bin Musarbal
8. Musa bin Ismail at Tamimi.
9. Muhammad bin Basar.
10. Zuhair bin Harbi (Abu Khaitsamah)
11. Umar bin Khaththab as Sijistani.
12. Ali bin Al Madini
13. Ash Shalih abu sarri (Hannad bin sarri).
14. Qutaibah bin Sa’id bin Jamil al Baghlani
15. Muhammad bin Yahya Adz Dzuhli
Dan masih banyak yang lainnya .

Murid-murid beliau
Diantara murid-murid beliau, antara lain;
1. Imam Abu ‘Isa at Tirmidzi
2. Imam Nasa’i
3. Abu Ubaid Al Ajuri
4. Abu Thayyib Ahmad bin Ibrahim Al Baghdadi (Perawi sunan Abi Daud dari beliau).
5. Abu ‘Amru Ahmad bin Ali Al Bashri (perawi kitab sunan dari beliau).
6. Abu Bakar Ahmad bin Muhammad Al Khallal Al Faqih.
7. Isma’il bin Muhammad Ash Shafar.
8. Abu Bakr bin Abi Daud (anak beliau).
9. Zakaria bin Yahya As Saaji.
10. Abu Bakar bin Abi Dunya.
11. Ahmad bin Sulaiman An Najjar (perawi kitab Nasikh wal Mansukh dari beliau).
12. Ali bin Hasan bin Al ‘Abd Al Anshari (perawi sunsn dari beliau).
13. Muhammad bin Bakr bin Daasah At Tammaar (perawi sunan dari beliau).
14. Abu ‘Ali Muhammad bin Ahmad Al Lu’lu’i (perawi sunan dari beliau).
15. Muhammad bin Ahmad bin Ya’qub Al Matutsi Al Bashri (perawi kitab Al Qadar dari beliau).

Persaksian para ulama terhadap beliau
Banyak sekali pujian dan sanjungan dari tokoh-tokoh terkemuka kalangan imam dan ulama hadits dan disiplin ilmu lainnya yang mengalir kepada imam Abu Daud Rahimahullah, diantaranya adalah;
1. Abdurrahman bin Abi Hatim berkata : Abu daud Tsiqah

2. Ima

Sabtu, 09 April 2011

Imam Bukhari
Sejarah Singkat Imam Bukhari

Quantcast

Kelahiran dan Masa Kecil Imam Bukhari

Imam Bukhari (semoga Allah merahmatinya) lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Badrdizbah Al-Ju’fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbeh, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughoerah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman el-Ja’fiy. Sebenarnya masa kecil Imam Bukhari penuh dengan keprihatinan. Di samping menjadi anak yatim, juga tidak dapat melihat karena buta (tidak lama setelah lahir, beliau kehilangan penglihatannya tersebut). Ibunya senantiasa berusaha dan berdo’a untuk kesembuhan beliau. Alhamdulillah, dengan izin dan karunia Allah, menjelang usia 10 tahun matanya sembuh secara total.

Imam Bukhari adalah ahli hadits yang termasyhur diantara para ahli hadits sejak dulu hingga kini bersama dengan Imam Ahmad, Imam Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, An-Nasai, dan Ibnu Majah. Bahkan dalam kitab-kitab fiqih dan hadits, hadits-hadits beliau memiliki derajat yang tinggi. Sebagian menyebutnya dengan julukan Amirul Mukminin fil Hadits (Pemimpin kaum mukmin dalam hal Ilmu Hadits). Dalam bidang ini, hampir semua ulama di dunia merujuk kepadanya.

Tempat beliau lahir kini termasuk wilayah Rusia, yang waktu itu memang menjadi pusat kebudayaan ilmu pengetahuan Islam sesudah Madinah, Damaskus dan Bagdad. Daerah itu pula yang telah melahirkan filosof-filosof besar seperti al-Farabi dan Ibnu Sina. Bahkan ulama-ulama besar seperti Zamachsari, al-Durdjani, al-Bairuni dan lain-lain, juga dilahirkan di Asia Tengah. Sekalipun daerah tersebut telah jatuh di bawah kekuasaan Uni Sovyet (Rusia), namun menurut Alexandre Benningsen dan Chantal Lemercier Quelquejay dalam bukunya “Islam in the Sivyet Union” (New York, 1967), pemeluk Islamnya masih berjumlah 30 milliun. Jadi merupakan daerah yang pemeluk Islam-nya nomor lima besarnya di dunia setelah Indonesia, Pakistan, India dan Cina.

Keluarga dan Guru Imam Bukhari

Bukhari dididik dalam keluarga ulama yang taat beragama. Dalam kitab As-Siqat, Ibnu Hibban menulis bahwa ayahnya dikenal sebagai orang yang wara’ dalam arti berhati-hati terhadap hal-hal yang hukumnya bersifat syubhat (ragu-ragu), terlebih lebih terhadap hal-hal yang sifatnya haram. Ayahnya adalah seorang ulama bermadzhab Maliki dan merupakan mudir dari Imam Malik, seorang ulama besar dan ahli fikih. Ayahnya wafat ketika Bukhari masih kecil.

Perhatiannya kepada ilmu hadits yang sulit dan rumit itu sudah tumbuh sejak usia 10 tahun, hingga dalam usia 16 tahun beliau sudah hafal dan menguasai buku-buku seperti “al-Mubarak” dan “al-Waki”. Bukhari berguru kepada Syekh Ad-Dakhili, ulama ahli hadits yang masyhur di Bukhara. Pada usia 16 tahun bersama keluarganya, ia mengunjungi kota suci Mekkah dan Madinah, dimana di kedua kota suci itu beliau mengikuti kuliah para guru-guru besar ahli hadits. Pada usia 18 tahun beliau menerbitkan kitab pertamanya “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien).

Bersama gurunya Syekh Ishaq, beliau menghimpun hadits-hadits shahih dalam satu kitab, dimana dari satu juta hadits yang diriwayatkan oleh 80.000 perawi disaring lagi menjadi 7275 hadits. Diantara guru-guru beliau dalam memperoleh hadits dan ilmu hadits antara lain adalah Ali bin Al Madini, Ahmad bin Hanbali, Yahya bin Ma’in, Muhammad bin Yusuf Al Faryabi, Maki bin Ibrahim Al Bakhi, Muhammad bin Yusuf al Baykandi dan Ibnu Rahwahih. Selain itu ada 289 ahli hadits yang haditsnya dikutip dalam kitab Shahih-nya.

Kejeniusan Imam Bukhari

Bukhari diakui memiliki daya hapal tinggi, yang diakui oleh kakaknya Rasyid bin Ismail. Kakak sang Imam ini menuturkan, pernah Bukhari muda dan beberapa murid lainnya mengikuti kuliah dan ceramah cendekiawan Balkh. Tidak seperti murid lainnya, Bukhari tidak pernah membuat catatan kuliah. Ia sering dicela membuang waktu karena tidak mencatat, namun Bukhari diam tak menjawab. Suatu hari, karena merasa kesal terhadap celaan itu, Bukhari meminta kawan-kawannya membawa catatan mereka, kemudian beliau membacakan secara tepat apa yang pernah disampaikan selama dalam kuliah dan ceramah tersebut. Tercenganglah mereka semua, lantaran Bukhari ternyata hafal di luar kepala 15.000 hadits, lengkap dengan keterangan yang tidak sempat mereka catat.

Ketika sedang berada di Bagdad, Imam Bukhari pernah didatangi oleh 10 orang ahli hadits yang ingin menguji ketinggian ilmu beliau. Dalam pertemuan itu, 10 ulama tersebut mengajukan 100 buah hadits yang sengaja “diputar-balikkan” untuk menguji hafalan Imam Bukhari. Ternyata hasilnya mengagumkan. Imam Bukhari mengulang kembali secara tepat masing-masing hadits yang salah tersebut, lalu mengoreksi kesalahannya, kemudian membacakan hadits yang benarnya. Ia menyebutkan seluruh hadits yang salah tersebut di luar kepala, secara urut, sesuai dengan urutan penanya dan urutan hadits yang ditanyakan, kemudian membetulkannya. Inilah yang sangat luar biasa dari sang Imam, karena beliau mampu menghafal hanya dalam waktu satu kali dengar.

Selain terkenal sebagai seorang ahli hadits, Imam Bukhari ternyata tidak melupakan kegiatan lain, yakni olahraga. Ia misalnya sering belajar memanah sampai mahir, sehingga dikatakan sepanjang hidupnya, sang Imam tidak pernah luput dalam memanah kecuali hanya dua kali. Keadaan itu timbul sebagai pengamalan sunnah Rasul yang mendorong dan menganjurkan kaum Muslimin belajar menggunakan anak panah dan alat-alat perang lainnya.

Karya-karya Imam Bukhari

Karyanya yang pertama berjudul “Qudhaya as Shahabah wat Tabi’ien” (Peristiwa-peristiwa Hukum di zaman Sahabat dan Tabi’ien). Kitab ini ditulisnya ketika masih berusia 18 tahun. Ketika menginjak usia 22 tahun, Imam Bukhari menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci bersama-sama dengan ibu dan kakaknya yang bernama Ahmad. Di sanalah beliau menulis kitab “At-Tarikh” (sejarah) yang terkenal itu. Beliau pernah berkata, “Saya menulis buku “At-Tarikh” di atas makam Nabi Muhammad SAW di waktu malam bulan purnama”.

Karya Imam Bukhari lainnya antara lain adalah kitab Al-Jami’ ash Shahih, Al-Adab al Mufrad, At Tharikh as Shaghir, At Tarikh Al Awsat, At Tarikh al Kabir, At Tafsir Al Kabir, Al Musnad al Kabir, Kitab al ‘Ilal, Raf’ul Yadain fis Salah, Birrul Walidain, Kitab Ad Du’afa, Asami As Sahabah dan Al Hibah. Diantara semua karyanya tersebut, yang paling monumental adalah kitab Al-Jami’ as-Shahih yang lebih dikenal dengan nama Shahih Bukhari.

Dalam sebuah riwayat diceritakan, Imam Bukhari berkata: “Aku bermimpi melihat Rasulullah saw., seolah-olah aku berdiri di hadapannya, sambil memegang kipas yang kupergunakan untuk menjaganya. Kemudian aku tanyakan mimpi itu kepada sebagian ahli ta’bir, ia menjelaskan bahwa aku akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan dari hadits-hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain, yang mendorongku untuk melahirkan kitab Al-Jami’ As-Sahih.”

Dalam menghimpun hadits-hadits shahih dalam kitabnya tersebut, Imam Bukhari menggunakan kaidah-kaidah penelitian secara ilmiah dan sah yang menyebabkan keshahihan hadits-haditsnya dapat dipertanggungjawabkan. Ia berusaha dengan sungguh-sungguh untuk meneliti dan menyelidiki keadaan para perawi, serta memperoleh secara pasti kesahihan hadits-hadits yang diriwayatkannya.

Imam Bukhari senantiasa membandingkan hadits-hadits yang diriwayatkan, satu dengan lainnya, menyaringnya dan memilih mana yang menurutnya paling shahih. Sehingga kitabnya merupakan batu uji dan penyaring bagi hadits-hadits tersebut. Hal ini tercermin dari perkataannya: “Aku susun kitab Al Jami’ ini yang dipilih dari 600.000 hadits selama 16 tahun.”

Banyak para ahli hadits yang berguru kepadanya, diantaranya adalah Syekh Abu Zahrah, Abu Hatim Tirmidzi, Muhammad Ibn Nasr dan Imam Muslim bin Al Hajjaj (pengarang kitab Shahih Muslim). Imam Muslim menceritakan : “Ketika Muhammad bin Ismail (Imam Bukhari) datang ke Naisabur, aku tidak pernah melihat seorang kepala daerah, para ulama dan penduduk Naisabur yang memberikan sambutan seperti apa yang mereka berikan kepadanya.” Mereka menyambut kedatangannya dari luar kota sejauh dua atau tiga marhalah (100 km), sampai-sampai Muhammad bin Yahya Az Zihli (guru Imam Bukhari) berkata : “Barang siapa hendak menyambut kedatangan Muhammad bin Ismail besok pagi, lakukanlah, sebab aku sendiri akan ikut menyambutnya.”

Penelitian Hadits

Untuk mengumpulkan dan menyeleksi hadits shahih, Bukhari menghabiskan waktu selama 16 tahun untuk mengunjungi berbagai kota guna menemui para perawi hadits, mengumpulkan dan menyeleksi haditsnya. Diantara kota-kota yang disinggahinya antara lain Bashrah, Mesir, Hijaz (Mekkah, Madinah), Kufah, Baghdad sampai ke Asia Barat. Di Baghdad, Bukhari sering bertemu dan berdiskusi dengan ulama besar Imam Ahmad bin Hanbali. Dari sejumlah kota-kota itu, ia bertemu dengan 80.000 perawi. Dari merekalah beliau mengumpulkan dan menghafal satu juta hadits.

Namun tidak semua hadits yang ia hapal kemudian diriwayatkan, melainkan terlebih dahulu diseleksi dengan seleksi yang sangat ketat, diantaranya apakah sanad (riwayat) dari hadits tersebut bersambung dan apakah perawi (periwayat / pembawa) hadits itu terpercaya dan tsiqqah (kuat). Menurut Ibnu Hajar Al Asqalani, akhirnya Bukhari menuliskan sebanyak 9082 hadis dalam karya monumentalnya Al Jami’ as-Shahih yang dikenal sebagai Shahih Bukhari.

Dalam meneliti dan menyeleksi hadits dan diskusi dengan para perawi tersebut, Imam Bukhari sangat sopan. Kritik-kritik yang ia lontarkan kepada para perawi juga cukup halus namun tajam. Kepada para perawi yang sudah jelas kebohongannya ia berkata, “perlu dipertimbangkan, para ulama meninggalkannya atau para ulama berdiam dari hal itu” sementara kepada para perawi yang haditsnya tidak jelas ia menyatakan “Haditsnya diingkari”. Bahkan banyak meninggalkan perawi yang diragukan kejujurannya. Beliau berkata “Saya meninggalkan 10.000 hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang perlu dipertimbangkan dan meninggalkan hadits-hadits dengan jumlah yang sama atau lebih, yang diriwayatan oleh perawi yang dalam pandanganku perlu dipertimbangkan”.

Banyak para ulama atau perawi yang ditemui sehingga Bukhari banyak mencatat jati diri dan sikap mereka secara teliti dan akurat. Untuk mendapatkan keterangan yang lengkap mengenai sebuah hadits, mencek keakuratan sebuah hadits ia berkali-kali mendatangi ulama atau perawi meskipun berada di kota-kota atau negeri yang jauh seperti Baghdad, Kufah, Mesir, Syam, Hijaz seperti yang dikatakan beliau “Saya telah mengunjungi Syam, Mesir dan Jazirah masing-masing dua kali, ke Basrah empat kali menetap di Hijaz selama enam tahun dan tidak dapat dihitung berapa kali saya mengunjungi Kufah dan Baghdad untuk menemui ulama-ulama ahli hadits.”

Disela-sela kesibukannya sebagai sebagai ulama, pakar hadits, ia juga dikenal sebagai ulama dan ahli fiqih, bahkan tidak lupa dengan kegiatan kegiatan olahraga dan rekreatif seperti belajar memanah sampai mahir, bahkan menurut suatu riwayat, Imam Bukhari tidak pernah luput memanah kecuali dua kali.

Metode Imam Bukhari dalam Menulis Kitab Hadits

Sebagai intelektual muslim yang berdisiplin tinggi, Imam Bukhari dikenal sebagai pengarang kitab yang produktif. Karya-karyanya tidak hanya dalam disiplin ilmu hadits, tapi juga ilmu-ilmu lain, seperti tafsir, fikih, dan tarikh. Fatwa-fatwanya selalu menjadi pegangan umat sehingga ia menduduki derajat sebagai mujtahid mustaqil (ulama yang ijtihadnya independen), tidak terikat pada mazhab tertentu, sehingga mempunyai otoritas tersendiri dalam berpendapat dalam hal hukum.

Pendapat-pendapatnya terkadang sejalan dengan Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi, pendiri mazhab Hanafi), tetapi terkadang bisa berbeda dengan beliau. Sebagai pemikir bebas yang menguasai ribuan hadits shahih, suatu saat beliau bisa sejalan dengan Ibnu Abbas, Atha ataupun Mujahid dan bisa juga berbeda pendapat dengan mereka.

Diantara puluhan kitabnya, yang paling masyhur ialah kumpulan hadits shahih yang berjudul Al-Jami’ as-Shahih, yang belakangan lebih populer dengan sebutan Shahih Bukhari. Ada kisah unik tentang penyusunan kitab ini. Suatu malam Imam Bukhari bermimpi bertemu dengan Nabi Muhammad saw., seolah-olah Nabi Muhammad saw. berdiri dihadapannya. Imam Bukhari lalu menanyakan makna mimpi itu kepada ahli mimpi. Jawabannya adalah beliau (Imam Bukhari) akan menghancurkan dan mengikis habis kebohongan yang disertakan orang dalam sejumlah hadits Rasulullah saw. Mimpi inilah, antara lain yang mendorong beliau untuk menulis kitab “Al-Jami ‘as-Shahih”.

Dalam menyusun kitab tersebut, Imam Bukhari sangat berhati-hati. Menurut Al-Firbari, salah seorang muridnya, ia mendengar Imam Bukhari berkata. “Saya susun kitab Al-Jami’ as-Shahih ini di Masjidil Haram, Mekkah dan saya tidak mencantumkan sebuah hadits pun kecuali sesudah shalat istikharah dua rakaat memohon pertolongan kepada Allah, dan sesudah meyakini betul bahwa hadits itu benar-benar shahih”. Di Masjidil Haram-lah ia menyusun dasar pemikiran dan bab-babnya secara sistematis.

Setelah itu ia menulis mukaddimah dan pokok pokok bahasannya di Rawdah Al-Jannah, sebuah tempat antara makam Rasulullah dan mimbar di Masjid Nabawi di Madinah. Barulah setelah itu ia mengumpulkan sejumlah hadits dan menempatkannya dalam bab-bab yang sesuai. Proses penyusunan kitab ini dilakukan di dua kota suci tersebut dengan cermat dan tekun selama 16 tahun. Ia menggunakan kaidah penelitian secara ilmiah dan cukup modern sehingga hadits haditsnya dapat dipertanggung-jawabkan.

Dengan bersungguh-sungguh ia meneliti dan menyelidiki kredibilitas para perawi sehingga benar-benar memperoleh kepastian akan keshahihan hadits yang diriwayatkan. Ia juga selalu membandingkan hadits satu dengan yang lainnya, memilih dan menyaring, mana yang menurut pertimbangannya secara nalar paling shahih. Dengan demikian, kitab hadits susunan Imam Bukhari benar-benar menjadi batu uji dan penyaring bagi sejumlah hadits lainnya. “Saya tidak memuat sebuah hadits pun dalam kitab ini kecuali hadits-hadits shahih”, katanya suatu saat.

Di belakang hari, para ulama hadits menyatakan, dalam menyusun kitab Al-Jami’ as-Shahih, Imam Bukhari selalu berpegang teguh pada tingkat keshahihan paling tinggi dan tidak akan turun dari tingkat tersebut, kecuali terhadap beberapa hadits yang bukan merupakan materi pokok dari sebuah bab.

Menurut Ibnu Shalah, dalam kitab Muqaddimah, kitab Shahih Bukhari itu memuat 7275 hadits. Selain itu ada hadits-hadits yang dimuat secara berulang, dan ada 4000 hadits yang dimuat secara utuh tanpa pengulangan. Penghitungan itu juga dilakukan oleh Syekh Muhyiddin An Nawawi dalam kitab At-Taqrib. Dalam hal itu, Ibnu Hajar Al-Atsqalani dalam kata pendahuluannya untuk kitab Fathul Bari (yakni syarah atau penjelasan atas kitab Shahih Bukhari) menulis, semua hadits shahih yang dimuat dalam Shahih Bukhari (setelah dikurangi dengan hadits yang dimuat secara berulang) sebanyak 2.602 buah. Sedangkan hadits yang mu’allaq (ada kaitan satu dengan yang lain, bersambung) namun marfu (diragukan) ada 159 buah. Adapun jumlah semua hadits shahih termasuk yang dimuat berulang sebanyak 7397 buah. Perhitungan berbeda diantara para ahli hadits tersebut dalam mengomentari kitab Shahih Bukhari semata-mata karena perbedaan pandangan mereka dalam ilmu hadits.

Terjadinya Fitnah

Muhammad bin Yahya Az-Zihli berpesan kepada para penduduk agar menghadiri dan mengikuti pengajian yang diberikannya. Ia berkata: “Pergilah kalian kepada orang alim dan saleh itu, ikuti dan dengarkan pengajiannya.” Namun tak lama kemudian ia mendapat fitnah dari orang-orang yang dengki. Mereka menuduh sang Imam sebagai orang yang berpendapat bahwa “Al-Qur’an adalah makhluk”.

Hal inilah yang menimbulkan kebencian dan kemarahan gurunya, Az-Zihli kepadanya. Kata Az-Zihli : “Barang siapa berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, maka ia adalah ahli bid’ah. Ia tidak boleh diajak bicara dan majelisnya tidak boleh didatangi. Dan barang siapa masih mengunjungi majelisnya, curigailah dia.” Setelah adanya ultimatum tersebut, orang-orang mulai menjauhinya.

Sebenarnya, Imam Bukhari terlepas dari fitnah yang dituduhkan kepadanya itu. Diceritakan, seseorang berdiri dan mengajukan pertanyaan kepadanya: “Bagaimana pendapat Anda tentang lafadz-lafadz Al-Qur’an, makhluk ataukah bukan?” Bukhari berpaling dari orang itu dan tidak mau menjawab kendati pertanyaan itu diajukan sampai tiga kali.

Tetapi orang itu terus mendesak. Ia pun menjawab: “Al-Qur’an adalah kalam Allah, bukan makhluk, sedangkan perbuatan manusia adalah makhluk dan fitnah merupakan bid’ah.” Pendapat yang dikemukakan Imam Bukhari ini, yakni dengan membedakan antara yang dibaca dengan bacaan, adalah pendapat yang menjadi pegangan para ulama ahli tahqiq (pengambil kebijakan) dan ulama salaf. Tetapi dengki dan iri adalah buta dan tuli. Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Bukhari pernah berkata : “Iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa bertambah dan bisa berkurang. Al-Quran adalah kalam Allah, bukan makhluk. Sahabat Rasulullah SAW, yang paling utama adalah Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali. Dengan berpegang pada keimanan inilah aku hidup, aku mati dan dibangkitkan di akhirat kelak, insya Allah.” Di lain kesempatan, ia berkata: “Barang siapa menuduhku berpendapat bahwa lafadz-lafadz Al-Qur’an adalah makhluk, ia adalah pendusta.”

Wafatnya Imam Bukhari

Suatu ketika penduduk Samarkand mengirim surat kepada Imam Bukhari. Isinya, meminta dirinya agar menetap di negeri itu (Samarkand). Ia pun pergi memenuhi permohonan mereka. Ketika perjalanannya sampai di Khartand, sebuah desa kecil terletak dua farsakh (sekitar 10 Km) sebelum Samarkand, ia singgah terlebih dahulu untuk mengunjungi beberapa familinya. Namun disana beliau jatuh sakit selama beberapa hari. Dan Akhirnya meninggal pada tanggal 31 Agustus 870 M (256 H) pada malam Idul Fitri dalam usia 62 tahun kurang 13 hari. Beliau dimakamkan selepas Shalat Dzuhur pada Hari Raya Idul Fitri. Sebelum meninggal dunia, ia berpesan bahwa jika meninggal nanti jenazahnya agar dikafani tiga helai kain, tanpa baju dalam dan tidak memakai sorban. Pesan itu dilaksanakan dengan baik oleh masyarakat setempat. Beliau meninggal tanpa meninggalkan seorang anakpun.

Jumat, 08 April 2011

Imam Muslim

Sejarah Singkat Imam Muslim
Quantcast

Imam Muslim dilahirkan di Naisabur pada tahun 202 H atau 817 M. Imam Muslim bernama lengkap Imam Abul Husain Muslim bin al-Hajjaj bin Muslim bin Kausyaz al Qusyairi an Naisaburi. Naisabur, yang sekarang ini termasuk wilayah Rusia, dalam sejarah Islam kala itu termasuk dalam sebutan Maa Wara’a an Nahr, artinya daerah-daerah yang terletak di sekitar Sungai Jihun di Uzbekistan, Asia Tengah. Pada masa Dinasti Samanid, Naisabur menjadi pusat pemerintahan dan perdagangan selama lebih kurang 150 tahun. Seperti halnya Baghdad di abad pertengahan, Naisabur, juga Bukhara (kota kelahiran Imam Bukhari) sebagai salah satu kota ilmu dan pusat peradaban di kawasan Asia Tengah. Di sini pula bermukim banyak ulama besar.

Perhatian dan minat Imam Muslim terhadap ilmu hadits memang luar biasa. Sejak usia dini, beliau telah berkonsentrasi mempelajari hadits. Pada tahun 218 H, beliau mulai belajar hadits, ketika usianya kurang dari lima belas tahun. Beruntung, beliau dianugerahi kelebihan berupa ketajaman berfikir dan ingatan hafalanbutkan periwayatan hadits.

Selain kepada Ad Dakhili, Imam Muslim pun tak segan-segan bertanya kepada banyak ulama di berbagai tempat dan . Ketika berusia sepuluh tahun, Imam Muslim sering datang dan berguru pada seorang ahli hadits, yaitu Imam Ad Dakhili. Setahun kemudian, beliau mulai menghafal hadits Nabi SAW, dan mulai berani mengoreksi kesalahan dari gurunya yang salah menyenegara. Berpetualang menjadi aktivitas rutin bagi dirinya untuk mencari silsilah dan urutan yang benar sebuah hadits. Beliau, misalnya pergi ke Hijaz, Irak, Syam, Mesir dan negara-negara lainnya. Dalam lawatannya itu, Imam Muslim banyak bertemu dan mengunjungi ulama-ulama kenamaan untuk berguru hadits kepada mereka. Di Khurasan, beliau berguru kepada Yahya bin Yahya dan Ishak bin Rahawaih; di Ray beliau berguru kepada Muhammad bin Mahran dan Abu ‘Ansan. Di Irak beliau belajar hadits kepada Ahmad bin Hanbal dan Abdullah bin Maslamah; di Hijaz beliau belajar kepada Sa’id bin Mansur dan Abu Mas ‘Abuzar; di Mesir beliau berguru kepada ‘Amr bin Sawad dan Harmalah bin Yahya, dan ulama ahli hadits lainnya.

Bagi Imam Muslim, Baghdad memiliki arti tersendiri. Di kota inilah beliau berkali-kali berkunjung untuk belajar kepada ulama-ulama ahli hadits. Kunjungannya yang terakhir beliau lakukan pada tahun 259 H. Ketika Imam Bukhari datang ke Naisabur, Imam Muslim sering mendatanginya untuk bertukar pikiran sekaligus berguru padanya. Saat itu, Imam Bukhari yang memang lebih senior, lebih menguasai ilmu hadits ketimbang dirinya.

Ketika terjadi fitnah atau kesenjangan antara Bukhari dan Az Zihli, beliau bergabung kepada Bukhari. Sayang, hal ini kemudian menjadi sebab terputusnya hubungan dirinya dengan Imam Az Zihli. Yang lebih menyedihkan, hubungan tak baik itu merembet ke masalah ilmu, yakni dalam hal penghimpunan dan periwayatan hadits-hadits Nabi SAW.

Imam Muslim dalam kitab shahihnya maupun kitab-kitab lainnya tidak memasukkan hadits-hadits yang diterima dari Az Zihli, padahal beliau adalah gurunya. Hal serupa juga beliau lakukan terhadap Bukhari. Tampaknya bagi Imam Muslim tak ada pilihan lain kecuali tidak memasukkan ke dalam Kitab Shahihnya hadits-hadits yang diterima dari kedua gurunya itu. Kendatipun demikian, dirinya tetap mengakui mereka sebagai gurunya.

Imam Muslim yaC Shahih Muslim, berjumlah 3.030 hadits tanpa pengulangan. Bila dihitung dengan pengulangan, katanya, berjumlah sekitar 10.000 hadits. Sementara menurut Imam Al Khuli, ulama besar asal Mesir, hadits yang terdapat dalam karya Muslim tersebut bng dikenal sangat tawadhu’ dan wara’ dalam ilmu itu telah meriwayatkan puluhan ribu hadits. Menurut Muhammad Ajaj Al Khatib, guru besar hadits pada Universitas Damaskus, Syria, hadits yang tercantum dalam karya besar Imam Muslim.rjumlah 4.000 hadits tanpa pengulangan, dan 7.275 dengan pengulangan. Jumlah hadits yang beliau tulis dalam Shahih Muslim itu diambil dan disaring dari sekitar 300.000 hadits yang beliau ketahui. Untuk menyaring hadits-hadits tersebut, Imam Muslim membutuhkan waktu 15 tahun.

Mengenai metode penyusunan hadits, Imam Muslim menerapkan prinsip-prinsip ilmu jarh, dan ta’dil, yakni suatu ilmu yang digunakan untuk menilai cacat tidaknya suatu hadits. Beliau juga menggunakan sighat at tahammul (metode-metode penerimaan riwayat), seperti haddasani (menyampaikan kepada saya), haddasana (menyampaikan kepada kami), akhbarana (mengabarkan kepada saya), akhabarana (mengabarkan kepada kami), dan qaalaa (ia berkata).

Imam Muslim menjadi orang kedua terbaik dalam masalah ilmu hadits (sanad, matan, kritik, dan seleksinya) setelah Imam Bukhari. “Di dunia ini orang yang benar-benar ahli di bidang hadits hanya empat orang; salah satu di antaranya adalah Imam Muslim,” komentar ulama besar Abu Quraisy Al Hafizh. Maksud ungkapan itu tak lain adalah ahli-ahli hadits terkemuka yang hidup di masa Abu Quraisy.

Reputasinya mengikuti gurunya Imam Bukhari

Dalam khazanah ilmu-ilmu Islam, khususnya dalam bidang ilmu hadits, nama Imam Muslim begitu monumental, setara dengan gurunya, Abu Abdillah Muhammad bin Ismail al-Bukhary al-Ju’fy atau lebih dikenal dengan nama Imam Bukhari. Sejarah Islam sangat berhutang jasa kepadanya, karena prestasinya di bidang ilmu hadits, serta karya ilmiahnya yang luar biasa sebagai rujukan ajaran Islam, setelah al-Qur’an. Dua kitab hadits shahih karya Bukhari dan Muslim sangat berperan dalam standarisasi bagi akurasi akidah, syariah dan tasawwuf dalam dunia Islam.

Melalui karyanya yang sangat berharga, al-Musnad ash-Shahih, atau al-Jami’ ash-Shahih, selain menempati urutan kedua setelah Shahih Bukhari, kitab tersebut memenuhi khazanah pustaka dunia Islam, dan di Indonesia, khususnya di pesantren-pesantren menjadi kurikulum wajib bagi para santri dan mahasiswa.

Pengembaraan (rihlah) dalam pencarian hadits merupakan kekuatan tersendiri, dan amat penting bagi perkembangan intelektualnya. Dalam pengembaraan ini (tahun 220 H), Imam Muslim bertemu dengan guru-gurunya, dimana pertama kali bertemu dengan Qa’nabi dan yang lainnya, ketika menuju kota Makkah dalam rangka perjalanan haji. Perjalanan intelektual lebih serius, barangkali dilakukan tahun 230 H. Dari satu wilayah ke wilayah lainnya, misalnya menuju ke Irak, Syria, Hijaz dan Mesir.

Waktu yang cukup lama dihabiskan bersama gurunya al-Bukhari. Kepada guru besarnya ini, Imam Muslim menaruh hormat yang luar biasa. “Biarkan aku mencium kakimu, hai Imam Muhadditsin dan dokter hadits,” pintanya, ketika di sebuah pertemuan antara Bukhari dan Muslim.

Disamping itu, Imam Muslim memang dikenal sebagai tokoh yang sangat ramah, sebagaimana al-Bukhari yang memiliki kehalusan budi bahasa, Imam Muslim juga memiliki reputasi, yang kemudian populer namanya — sebagaimana disebut oleh Adz-Dzahabi — dengan sebutan muhsin dari Naisabur.

Maslamah bin Qasim menegaskan, “Muslim adalah tsaqqat, agung derajatnya dan merupakan salah seorang pemuka (Imam).” Senada pula, ungkapan ahli hadits dan fuqaha’ besar, Imam An-Nawawi, “Para ulama sepakat atas kebesarannya, keimanan, ketinggian martabat, kecerdasan dan kepeloporannya dalam dunia hadits.”

Kitab Shahih Muslim

Imam Muslim memiliki jumlah karya yang cukup penting dan banyak. Namun yang paling utama adalah karyanya, Shahih Muslim. Dibanding kitab-kitab hadits shahih lainnya, kitab Shahih Muslim memiliki karakteristik tersendiri, dimana Imam Muslim banyak memberikan perhatian pada ekstraksi yang resmi. Beliau bahkan tidak mencantumkan judul-judul setiap akhir dari satu pokok bahasan. Disamping itu, perhatiannya lebih diarahkan pada mutaba’at dan syawahid.

Walaupun dia memiliki nilai beda dalam metode penyusunan kitab hadits, Imam Muslim sekali-kali tidak bermaksud mengungkap fiqih hadits, namun mengemukakan ilmu-ilmu yang bersanad. Karena beliau meriwayatkan setiap hadits di tempat yang paling layak dengan menghimpun jalur-jalur sanadnya di tempat tersebut. Sementara al-Bukhari memotong-motong suatu hadits di beberapa tempat dan pada setiap tempat beliau sebutkan lagi sanadnya. Sebagai murid yang shalih, beliau sangat menghormati gurunya itu, sehingga beliau menghindari orang-orang yang berselisih pendapat dengan al-Bukhari.

Kitab Shahih Muslim memang dinilai kalangan muhaditsun berada setingkat di bawah al-Bukhari. Namun ada sejumlah ulama yang menilai bahwa kitab Imam Muslim lebih unggul ketimbang kitabnya al-Bukhari.

Sebenarnya kitab Shahih Muslim dipublikasikan untuk Abu Zur’ah, salah seorang kritikus hadits terbesar, yang biasanya memberikan sejumlah catatan mengenai cacatnya hadits. Lantas, Imam Muslim kemudian mengoreksi cacat tersebut dengan membuangnya tanpa argumentasi. Karena Imam Muslim tidak pernah mau membukukan hadits-hadits yang hanya berdasarkan kriteria pribadi semata, dan hanya meriwayatkan hadits yang diterima oleh kalangan ulama. Sehingga hadits-hadits Muslim terasa sangat populis.

Berdasarkan hitungan Muhammad Fuad Abdul Baqi, kitab Shahih Muslim memuat 3.033 hadits. Metode penghitungan ini tidak didasarkan pada sistem isnad sebagaimana dilakukan ahli hadits, namun beliau mendasarkannya pada subyek-subyek. Artinya jika didasarkan isnad, jumlahnya bisa berlipat ganda.

Antara al-Bukhari dan Muslim

Imam Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Prof. Mustafa ‘Adzami dalam bukunya Studies in Hadith Methodology and Literature, mengambil keuntungan dari Shahih Bukhari, kemudian menyusun karyanya sendiri, yang tentu saja secara metodologis dipengaruhi karya al-Bukhari.

Antara al-Bukhari dan Muslim, dalam dunia hadits memiliki kesetaraan dalam keshahihan hadits, walaupun hadits al-Bukhari dinilai memiliki keunggulan setingkat. Namun, kedua kitab hadits tersebut mendapatkan gelar sebagai as-Shahihain.

Sebenarnya para ulama berbeda pendapat mana yang lebih unggul antara Shahih Muslim dengan Shahih Bukhari. Jumhur Muhadditsun berpendapat, Shahihul Bukhari lebih unggul, sedangkan sejumlah ulama Marokko dan yang lain lebih mengunggulkan Shahih Muslim. Hal ini menunjukkan, sebenarnya perbedaannya sangatlah sedikit, dan walaupun itu terjadi, hanyalah pada sistematika penulisannya saja, serta perbandingan antara tema dan isinya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar mengulas kelebihan Shahih Bukhari atas Shahih Muslim, antara lain, karena Al-Bukhari mensyaratkan kepastian bertemunya dua perawi yang secara struktural sebagai guru dan murid dalam hadits Mu’an’an; agar dapat dihukumi bahwa sanadnya bersambung. Sementara Muslim menganggap cukup dengan “kemungkinan” bertemunya kedua rawi tersebut dengan tidak adanya tadlis.

Al-Bukhari mentakhrij hadits yang diterima para perawi tsaqqat derajat utama dari segi hafalan dan keteguhannya. Walaupun juga mengeluarkan hadits dari rawi derajat berikutnya dengan sangat selektif. Sementara Muslim, lebih banyak pada rawi derajat kedua dibanding Bukhari. Disamping itu kritik yang ditujukan kepada perawi jalur Muslim lebih banyak dibanding kepada al-Bukhari.

Sementara pendapat yang berpihak pada keunggulan Shahih Muslim beralasan — sebagaimana dijelaskan Ibnu Hajar —, bahwa Muslim lebih berhati-hati dalam menyusun kata-kata dan redaksinya, karena menyusunnya di negeri sendiri dengan berbagai sumber di masa kehidupan guru-gurunya. Beliau juga tidak membuat kesimpulan dengan memberi judul bab sebagaimana Bukhari lakukan. Dan sejumlah alasan lainnya.

Namun prinsipnya, tidak semua hadits Bukhari lebih shahih ketimbang hadits Muslim dan sebaliknya. Hanya pada umumnya keshahihan hadits riwayat Bukhari itu lebih tinggi derajatnya daripada keshahihan hadits dalam Shahih Muslim.

Karya-karya Imam Muslim

Imam Muslim berhasil menghimpun karya-karyanya, antara lain seperti: 1) Al-Asma’ wal-Kuna, 2) Irfadus Syamiyyin, 3) Al-Arqaam, 4) Al-Intifa bi Juludis Siba’, 5) Auhamul Muhadditsin, 7)At-Tarikh, 8.) At-Tamyiz, 9) Al-Jami’, 10) Hadits Amr bin Syu’aib, 11) Rijalul ‘Urwah, 12)Sawalatuh Ahmad bin Hanbal, 13) Thabaqat, 14) Al-I’lal, 15) Al-Mukhadhramin, 16) Al-Musnad al-Kabir, 17) Masyayikh ats-Tsawri, 18) Masyayikh Syu’bah, 19) Masyayikh Malik, 20) Al-Wuhdan, 21) As-Shahih al-Masnad.

Kitab-kitab nomor 6, 20, dan 21 telah dicetak, sementara nomor 1, 11, dan 13 masih dalam bentuk manuskrip. Sedangkan karyanya yang monumental adalah Shahih dari judul singkatnya, yang sebenarnya berjudul, Al-Musnad as-Shahih, al-Mukhtashar minas Sunan, bin-Naqli al-’Adl ‘anil ‘Adl ‘an Rasulillah.

Wafatnya Imam Muslim

Imam Muslim wafat pada Ahad sore, pada tanggal 24 Rajab 261 H. Semoga Allah SWT merahmatinya, mengampuni segala kesalahannya, serta menggolongkannya ke dalam golongan orang-orang yang sholeh. Amiin.
19 keistimewaan wanita menurut hadist

1. Doa wanita itu lebih makbul daripada lelaki karena sifat penyayang yang lebih kuat daripada lelaki. Ketika ditanya kepada Rasulullah SAW akan hal tersebut, jawab baginda , ” Ibu lebih penyayang daripada bapak dan doa orang yang penyayang tidak akan sia-sia.”

2. Wanita yang salehah (baik) itu lebih baik daripada 1000 lelaki yang saleh.

3. Barangsiapa yang menggembirakan anak perempuannya, derajatnya seumpama orang yang senantiasa menangis karena takut akan Allah .Dan orang yang takut akan Allah SWT akan diharamkan api neraka ke atas tubuhnya.



4. Wanita yang tinggal bersama anak-anaknya akan tinggal bersama aku (Rasulullah saw di dalam syurga);

5. Barangsiapa membawa hadiah (barang makanan dari pasar ke rumah lalu diberikan kepada keluarganya) maka pahalanya seperti melakukan amalan bersedekah.Hendaklah mendahulukan anak perempuan daripada anak lelaki.

6. Surga itu di bawah telapak kaki ibu;

7. Barangsiapa mempunyai tiga anak perempuan atau tiga saudara perempuan atau dua anak perempuan atau dua saudara perempuan lalu dia bersikap ihsan dalam pergaulan dengan mereka dan mendidik mereka dengan penuh rasa takwa serta sikap bertanggungjawab, maka baginya adalah surga.

8. Apabila memanggil akan dirimu dua orang ibu bapakmu, maka jawablah panggilan ibumu terlebih dahulu.

9. Daripada Aisyah r.a.” Barangsiapa yang diuji dengan sesuatu daripada anak-anak perempuannya lalu dia berbuat baik kepada mereka, maka mereka akan menjadi penghalang baginya daripada api neraka.

10. Wanita yang taat berkhidmat kepada suaminya akan tertutuplah pintu-pintu neraka dan terbuka pintu-pintu surga. Masuklah dari mana saja pintu yang dia kehendaki dengan tidak dihisab.

11. Wanita yang taat pada suaminya, maka semua ikan-ikan di laut, burung di udara, malaikat di langit, matahari dan bulan semua beristighfar baginya selama dia taat kepada suaminya serta menjaga salat dan puasanya

12. Aisyah r.a berkata, “Aku bertanya kepada Rasulullah, siapakah yang lebih besar haknya terhadap wanita?” Jawab Rasulullah SAW “Suaminya.” ” Siapa pula berhak terhadap lelaki?” Jawab Rasulullah SAW, “Ibunya.”

13. Perempuan apabila sembahyang lima waktu, puasa di bulan Ramadhan, memelihara kehormatannya serta kepada suaminya, masuklah dia dari pintu surga mana saja yang dikehendaki.

14. Tiap perempuan yang menolong suaminya dalam urusan agama, maka Allah SWT memasukkan dia ke dalam surga terlebih dahulu daripada suaminya (10,000 tahun).

15. Apabila seseorang perempuan mengandung janin dalam rahimnya, maka beristighfarlah para malaikat untuknya. Allah SWT mencatatkan baginya setiap hari dengan 1,000 kebajikan dan menghapuskan darinya 1,000 kejahatan.

16. Apabila seseorang perempuan mulai sakit hendak bersalin, maka Allah SWT mencatatkan baginya pahala orang yang berjihad pada jalan Allah.

17. Apabila seseorang perempuan melahirkan anak, keluarlah dia dari dosa-dosa seperti keadaan ibunya melahirkannya.

18. Apabila telah lahir anak lalu disusui, maka bagi ibu itu setiap satu tegukan daripada susunya diberi satu kebajikan.



19. Apabila semalaman seorang ibu tidak tidur dan memelihara anaknya yang sakit, maka Allah SWT memberinya pahala seperti memerdekakan 70 orang hamba dengan ikhlas untuk membela agama Allah SWT.

Minggu, 19 Desember 2010

Pembetulan Kisah Umar al-Khattab r.a
On 26/02/2008, in Cabaran Islam, by Abu Saif | 6,676 views | Print Print | Email Email |

017.jpg

Di dalam artikel SOKONG ISLAM ATAU MUSLIM, saya telah memasukkan kisah Umar al-Khattab radhiyallahu ‘anhu mengadili kes seorang lelaki Qibti Mesir dan Muhammad, anak kepada Gabenor ‘Amru bin al-’Aas radhiyallahu ‘anhu.

Kisah tersebut tersimpul dengan ucapan Umar yang terkenal iaitu:

ahrara.JPG
Wahai Amru, bagaimana kamu boleh memperhambakan manusia sedangkan mereka dilahirkan oleh ibu-ibu mereka bebas merdeka!”

Kisah itu merupakan kisah yang sangat masyhur. Dan saya memetiknya dari karangan Sheikh ‘Aid al-Qarni dan kebetulan, kitab Futuh al-Misr wa Akhbaruha oleh Ibn Abd al-Hakam telah dibahaskan di dalam kelas subjek Islam in Sub Saharan Africa di dalam pengajian saya di UIAM.

Beberapa persoalan telah timbul, berikutan daripada kemusykilan buku-buku tentang sejarah Afrika. Proses menyaring kitab seperti Futuh al-Misr ini, begitu juga dengan buku seperti Rehlah Ibn Bathutah, adalah amat sulit. Pelbagai cabang disiplin diperlukan untuk menyaringnya. Kombinasi di antara disiplin jarh wa ta’dil di dalam ilmu hadith, serta ahli bahasa Arab dalam menilai ketulenan lafaz… berguna untuk menapisnya.

Hasil kombinasi latar belakang kami di dalam kelas yang terdahulunya merupakan pelajar Syariah dan Hadith, diskusi telah diadakan. Kami akhirnya sampai kepada kesimpulan bahawa riwayat yang masyhur tentang kisah Umar di atas, adalah MUNKAR.

Kemusykilan tentang kisah tersebut melibatkan kualiti sanad, kesahihan isi kandungan teks yang bertentangan dengan beberapa prinsip Islam, justeru saya mengambil langkah untuk menarik balik kisah tersebut dari artikel berkenaan.

Namun ia tidaklah menjejaskan maksud asal artikel tersebut, bahawa Islam menjunjung prinsip keadilan tanpa mengira sama ada seseorang itu Muslim atau pun tidak.

KESULITAN

Hal ini menjadi satu bukti yang penting betapa usaha memurnikan sejarah Islam, bukanlah suatu agenda yang mudah. Seandainya ada dari kalangan pembaca yang mempunyai maklumat berguna yang boleh digunakan untuk memperbaiki hal ini, janganlah teragak-agak memaklumkannya kepada saya.

Kita harus saling bekerjasama untuk membantu di antara satu sama lain dan kesilapan seperti kesilapan saya ini, jangan terus dianggap sebagai menghina sahabat Rasulullah SAW. Naudhubillah min dhaalik.

Menyengajakan suatu kebatilan adalah terlalu jauh bezanya dengan kesilapan yang boleh menimpa sesiapa sahaja dari kalangan kita.

Kepada Allah jua saya mohon keampunan, semoga pembetulan ini tidak menjejaskan tumpuan kita kepada tanggungjawab dan peranan masing-masing menjelang PRU akan datang.

“Seeru ‘ala barakatillah”


© SAIFULISLAM.COM (1998 – 2010)

Hak cipta terpelihara. Setiap artikel yang tersiar di Saifulislam.Com dihasilkan untuk tujuan pendidikan dan bersifat non-komersil. Pembaca bebas menyalin dan menyebarkan artikel yang terdapat di sini, namun alamat Saifulislam.Com hendaklah disertakan bersama untuk memudahkan proses rujukan. Manakala untuk penerbitan semula dan berorientasikan komersil, setiap bahagian daripada artikel ini tidak boleh diterbitkan semula, disimpan untuk pengeluaran atau dipindahkan dalam bentuk lain, sama ada dengan cara bercetak, elektronik, mekanikal, fotokopi, rakaman dan sebagainya, tanpa izin SAIFULISLAM.COM terlebih dahulu.

"Erti Hidup Pada Memberi"

ABU SAIF @ www.saifulislam.com
68000 Ampang, Selangor
Sains dan Pembinaan Budaya
27 September 2004
Oleh SYED MAHADZIR SYED IBRAHIM

Pemahaman popular tentang sains selalu berkisar pada cerita-cerita kepintaran para saintis serta ´penemuan-penemuan´ mereka yang dirangkum dalam rumusan-rumusan dan bagaimana penemuan-penemuan tersebut merubah dunia ekonomi-material dan pada tahap tertentu, dunia sosial-simbolik di mana manusia berada.

Cerita-cerita tentang perkembangan sains selalu berfokus pada individu-individu seolah-olah gagasan-gagasan bijaksana daripada saintis tersebut datang begitu saja dari dalam ´kepala´ saintis itu sendiri dan muncul menjadi rumusan-rumusan matematik yang rumit - yang hanya boleh difahami oleh orang yang memiliki kebijaksanaan yang hebat.

Tanpa menolak peranan individu para saintis yang telah merubah dunia ini, tulisan ini mengajak pembaca untuk melihat sains dan pengetahuan yang dihasilkannya sebagai suatu proses budaya. Satu alasan kuat mengapa kita perlu melakukan penelaahan sains secara budaya adalah untuk melakukan demistifikasi sains yang terlalu ketat oleh dogma keilmiahannya seakan-akan ia senantiasa ´bebas nilai´.

Penyataan sains sebagai bebas nilai berimplikasi pada doktrin bahawa sains adalah neutral dan bersifat universal. Nutral dalam erti ia tidak berpihak kepada sesiapa pun dan bebas daripada pelbagai kepentingan ekonomi dan politik. Sejagat dalam erti ia berlaku di mana saja melewati batas geografi, sosial, budaya, ekonomi dan politik.

Tetapi di sebalik dua doktrin inilah sains moden melakukan hegemoni sistem pengetahuan secara global dan mematikan sistem pengetahuan lainnya yang selalu diklasifikasikan sebagai terkebelakang, tahayul, irasional dan kebodohan. Dalam tulisan ini, dua doktrin sains tersebut akan diperdebatkan.

Apakah sains? Dalam makna generiknya, sains selalu dikaitkan dengan usaha manusia untuk mencari dan menemukan tentang suatu fenomena. Cara mencari dan proses penemuan ini tidak lepas daripada proses interpretasi manusia terhadap fenomena tersebut. Daripada pemahaman inilah dibentuk suatusistem pengetahuan yang meliputi objek pengetahuan, kaedah dan model interpretasi.

Pada dasarnya, inti daripada suatu sistem pengetahuan adalah aktiviti representasi di mana pemerhati (saintis) menginterpretasi gejala-gejala alam yang kemudian dimodelkan ke dalam bahasa sains (dalam sains moden menggunakan model matematik). Satu hal yang perlu dititikberatkan ialah bahawa sesuatu onjek pengetahuan hanya lahir atau muncul melalui representasi.

Proses interpretasi dan representasi ini tidaklah terjadi begitu saja secara objektif di mana saintis dengan serta-merta ´menemukan´ sesuatu seakan-akan objek pengetahuan itu sudah ada sebelumnya. Objek pengetahuan itu adalah hasil pembinaan interpretatif saintis melalui bahasa, sementara bahasa itu sendiri memiliki keterbatasan.

Objek pengetahuan itu menjadi seakan-akan nyata kerana ia berhubung langsung dengan sesuatu yang sifatnya konkrit di mana metodologi ilmiah (logik-empirisme) memungkinkan terjadinya perulangan realiti (regulariti) melalui amal simulasi, manipulasi dan kawalan.

Berdasarkan daripada pemahahaman ini, mari kita melihat ke penjelasan teoritis tentang pembinaan budaya sains oleh Timothy Lenoir yang merupakan dasar terhadap sosiologi sains yang dikembangkan oleh Robert Merton dan Joseph Ben-David.

Secara kasar, sosiologi sains versi Merton dan Ben-David berlandaskan pada dua gagasan. Pertama adalah realisme, iaitu keyakinan bahawa kita berada dalam dunia yang dipenuhioleh objek-objek nyata dan kebenaran yang dibangunkan oleh sains memiliki hubungan langsung dengan realiti dunia ini.

Kedua adalah objektif, iaitu keyakinan bahawa fakta-fakta objektif mengenai realiti dunia itu hadir dan bebas daripada interpretasi manusia (independent reality). Daripada pemahaman terhadap dua gagasan ini, Merton dan Ben-David mengatakan bahawa proses sains sebagai proses akumulatif dan tumbuh secara terus menerus dalam mencari kebenaran secara linear.

Selain itu, pengetahuan yang dihasilkan oleh sains, bebas dari konteks produksi dan keadaan reproduksi dan pengedarannya. Bagi Lenoir, ketiadaan kepentingan (disinterestedness) dan autonomi (autonomy) sains seperti yang dilontarkan oleh Merton dan Ben-David sukar diterima. Kedua-dua gagasan itu tidak lebih daripada idealisasi yang secara artifisial diberikan kepada individu yang berkaitan dengan proses pembinaan pengetahuan.

Menentang konsep Merton dan Ben-David, menurut Lenoir, pengetahuan yang dihasilkan oleh sains selalu berkait rapat dengan keadaan di mana ia berada, serta bersifat lokal. Ini didasarkan pada kenyataan bahawa proses pembinaan pengetahuan amat dipengaruhi oleh hubungan yang kuat antara objek pengetahuan dengan pemerhati (saintis).

Bagi Lenoir, seperti yang dijelaskan di atas, pengetahuan adalah suatu bentuk interpretrasi yang melibatkan ikatan terhadap dunia yang bersifat sementara, bukan proses kontemplatif yang bebas daripada pelbagai konteks. Dengan demikian adalah logik jika kita katakan bahawa pengetahuan sudah tentu sarat dengan pelbagai kepentingan.

Untuk menjelaskan bagaimana pengetahuan terkandung dengan kepentingan-kepentingan, Lenoir menyarakankan kita untuk melihat produksi pengetahuan sebagai suatu praktikal budaya. Dalam proses pengetahuan, saintis tidak pernah bebas daripada dua faktor yang melingkunginya, iaitu kognitif dan sosial sebagai konsekuensi daripada kewujudannya sebagai manusia berfikir dan berinteraksi.

Faktor kognitif dan faktor sosial inilah yang mempengaruhi secara kuat proses interpretasi saintis terhadap sesuatu objek pengetahuan. Melalui faktor kognitif, saintis melakukan pemerhatian terhadap sesuatu objek secara interpretatif.

Manakala dalam faktor sosial, saintis selalu berhubung dengan kerangka sosial ekonomi di mana dia berada. Daripada dua faktor ini, Lenoir membuat kesimpulan bahawa pembinaan pengetahuan dapat dikatakan sebagai suatu usaha untuk menjelmakan suatu versi realiti yang diterima oleh kelompok sosial di mana saintis itu berada.

Daripada analisis pembinaan pengetahuan secara mikro, Lenoir melanjutkan analisisnya ke peringkat makro. Pada tahap ini, Lenoir menunjukkan bagaimana perkembangan sains dikelilingi oleh kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi dan politik secara lebih luas.

Dalam analisis ini, sains mengalami fragmentasi terhadap pelbagai disiplin yang saling berhadapan satu sama lainnya. Setiap disiplin (fizik partikel, biologi molekul, kimia organik, dan sebagainya) memiliki sistem logik dan model institusi serta struktur kekuasaan masing-masing. Di sini Lenoir melihat hubungan antara kekuasaan dengan pengetahuan yang terkandung dalam disiplin tersebut.

Tetapi struktur kekuasaan disiplin-disiplin tersebut tidaklah mutlak, tetapi ´tunduk´ kepada kekuasaan yang lebih besar, iaitu kekuasaan ekonomi dan politik. Dan di sinilah terletaknya seluruh agenda sains (seolah-olah) atas nama kebenaran ilmiah.

Kamis, 29 Juli 2010

Tuesday, October 04, 2005
Marhaban Ya Ramadhan

"Marhaban Ya Ramadhan"


Assalamu'alaikum Wr. Wb.

Marhaban Ya Ramadhan - Selamat Datang Bulan Ramadhan

Do'a Malaikat Jibril adalah sbb:

"Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad,
apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:

- Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
- Tidak berma'afan terlebih dahulu antara suami istri;
- Tidak berma'afan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Maka Rasulullahpun mengatakan amiin sebanyak 3 kali.
Dapat kita bayangkan, yang berdo'a adalah Malaikat dan yang meng-amiinkan adalah Rasullullah
dan para sahabat, dan dilakukan pada hari Jum'at.

Tanpa Disadari

11 bulan
banyak kata sudah diucapkan dan dilontarkan
tak semua menyejukkan,

11 bulan
banyak perilaku yang sudah dibuat dan diciptakan
tak semua menyenangkan,

11 bulan
banyak keluhan, kebencian, kebohongan
menjadi bagian dari diri,


saatnya istirahat dalam "perjalanan dunia"
saatnya membersihkan jiwa yang berjelaga,
saatnya menikmati indahnya kemurahanNya
saatnya memahami makna pensucian diri

Selamat menunaikan Ibadah Puasa
bersama kita leburkan kekhilafan,

Semoga dengan puasa mempertemukan kita
dengan Keagungan Lailatul Qadar
dan kita semua menjadi pilihanNya
untuk dikabulkan do'a - do'a
dan kembali menjadi fitrah

Amin.


.: M Faisal & Keluarga :.
Rasulullah bersabda, Allah berfirman: Aku sesuai dengan persangkaan hambaKu kepadaKu. Aku bersamanya bila dia ingat Aku, bila dia mengingatKu dalam dirinya Aku mengingatnya dalam diriKu, bila dia menyebut namaKu dalam suatu perkumpulan, Aku menyebutnya dalam perkumpulan yang lebih baik dari mereka, bila dia mendekat kepadaKu sejengkal Aku mendekat kepadanya sehasta, bila ia mendekat kepadaKu sehasta Aku mendekat kepadanya sedepa, bila dia datang kepadaKu dengan berjalan, maka Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.
(HR. Al-Bukhari 5/175 dan Muslim 4/2061)

Selasa, 27 Juli 2010

Thursday, July 22, 2010
Kasih Ibu
Dentingan nafasmu menyelemuti hari hingga senja
Tak tersimpan setitik kelelahan di wajahmu
Tak ada sesal saat semua harus kau lalui
Langkahmu tak pernah henti
Melangkah untukku

Kasihmu tak kunjung redah
Walau dalam lelah
Kau tetap merangkai kata bijak untukku
Mengurai senyum
Di setiap langkahku
Mendera doa
Di setiap helai nafasku

Ibu….kau mutiara di hatiku
Relung hatimu sangat indah
Hingga aku tak mampu menggapai dalamnya
Tetes air matamu menguntai
Sebuah asa untukku

OLEH : Nyna
Posted by Yoedi at 11:45 PM 0 comments
Labels: puisi ibu

Jumat, 23 Juli 2010

180
TEORI KRITIS JÜRGEN HABERMAS:
ASUMSI-ASUMSI DASAR MENUJU METODOLOGI KRITIK SOSIAL
Sindung Tjahyadi
Abstract: Multiculturalism, the global cultural exchange, and the need
of humanized communication are the real challenges for social
sciences and social philosophy. Through the metatheoritical approach
in Critical Theory, Jürgen Habermas attempts to answer those
fundamental problems. He built a comprehensive theory to analyze
the relationships of knowledge, science, politics, society, and culture
in modern society. He found that we need a new approach to develop
an emancipatory science, a science which regard the human as the
subject of change.
Kata Kunci: Habermas, teori kritis, sistem, life-world, komunikasi,
emansipasi.
Masalah yang mengemuka dalam filsafat sosial dan politik terkait dengan
hakikat suatu kajian filsafat tercermin dalam pertanyaan-pertanyaan: Apa peran
yang semestinya dilakukan oleh ‘rasio’ dalam refleksi-refleksi abstrak tentang
masyarakat? Apakah suatu teoritisasi atas dasar suatu perspektif yang tidak
memihak dan netral tentang masyarakat itu mungkin? Ataukah teoritisasi yang
ada ini hanyalah sebuah permukaan dari suatu pemikiran yang sesungguhnya bias
dan ditujukan hanya untuk kepuasan diri sendiri? (Christman, 2002: 1)
Persoalan ‘metodologis’ dalam pemahaman sosial ini sesungguhnya terkait
dengan perkembangan yang terjadi pada kajian-kajian tentang realitas sosialpolitik,
di samping tuntutan pragmatis untuk menjawab berbagai masalah yang
dihadapi oleh masyarakat itu sendiri. Dinamika masyarakat pada satu sisi
menuntut adanya reorientasi dan restrukturisasi bangunan metodologis ilmu
sosial, pada sisi lain kajian atas dasar sudut pandang baru menyajikan kekayaan
analisis atas berbagai dimensi dan hubungan-hubungan sosial yang tak mampu
diungkap melalui pendekatan sebelumnya.
Pergeseran pemahaman aspek ‘teoritis’ dan ‘praktis’ dari teori terjadi secara
gradual. Akibat yang ditimbulkan oleh perubahan tersebut pada akhirnya
membawa pada situasi ‘keberjarakan’ antara kajian politik klasik dengan realitas
sosial dewasa ini. Pendekatan klasik terhadap politik menjadi sesuatu yang asing
bagi kita (Habermas, 1973: 42). Politik dan perangkat teori sosial yang
mendukungnya menjadi sesuatu yang ‘jauh’, karena kecenderungan yang kuat
adanya penekanan pada aspek normatif, dan juga terjadi proses marginalisasi
klaim-klaim pengetahuan yang mendasari putusan politik dengan menyatakannya
sebagai jenis pengetahuan yang tidak dapat dipertanggungjawabkan secara
epistemologis. Akibatnya, bila dicermati perkembangan yang terjadi dewasa ini
pada dunia ‘politik’, jarak kajian ilmiah terhadap ‘dunia praksis’ nampak menjadi
semakin lebar.
Sindung Tjahyadi adalah Dosen Filsafat Pengetahuan, Fakultas Filsafat UGM
Sindung, Teori Kritis Habermas
181
Realitas aktual dewasa ini ditandai dengan meningkatnya mobilitas sosial,
kesadaran kultural yang lebih luas, dan globalisasi ekonomi. Ketiga gejala
tersebut telah menjadikan asumsi-asumsi tradisional tentang masyarakat menjadi
terisolasi, atau dengan kata lain konsep masyarakat homogen dalam pemikiran
politik menjadi lebih dicurigai. Masyarakat kemudian lebih digambarkan sebagai
multikultural (Christman, 2002: 2). Pengandaian-pengandaian sebagaimana
muncul dalam ‘politik demarkasi’ yang mengandaikan adanya kotak-kotak
komunitas homogen yang membingkai individu-individu, menjadi sebuah
pengandaian yang secara kognitif dan normatif mengingkari realitas. Pluralitas
menjadi bagian dari karakter sosial yang meski diterima dan dijadikan bagian dari
bangunan analisis dan konstruksi sosial.
Pada sisi lain, meningkatnya komunikasi internasional telah membuat
interaksi antar budaya dan tradisi menjadi sedemikian lebih kuat, walau masih
dihantui oleh keraguan tentang status ontis dari kesamaan identitas dan
kepentingan. Sudah menjadi kebutuhan dari umat manusia dewasa ini, bahwa
penteorian tentang ‘hak-hak asasi manusia’ tanpa penelitian ke dalam jenis-jenis
manusia yang berbeda sebagaimana dikonseptualisasikan sekarang akan
merupakan hal yang sangat kontroversial (Christman, 2002: 2). Aspek ontologisepistemologis
terkait dengan kategori-kategori dasar tentang manusia dan
masyarakat kemudian menjadi mengemuka. Titik pandang transendental atas
hakikat manusia dan masyarakat mulai dipertanyakan. Namun apabila kerangka
normatif transendental dalam memahami manusia dan masyarakatnya ditolak,
adakah kerangka ‘normatif’ lain yang menghargai pluralitas budaya atau
pluralitas struktural yang tidak terjebak dalam pluralisme ? Masih adakah
kerangka ‘normatif’ yang mampu merangkum segala perbedaan tanpa kehilangan
daya pengarah menuju masyarakat damai sejahtera?
Jürgen Habermas yang lahir pada tahun 1929 adalah pemikir kontemporer
yang mencurahkan usahanya untuk menjawab persoalan-persoalan dasar di atas
melalui dan berpijak dari suatu tradisi yang disebut Teori Kritis. Teori Kritis yang
dipahami sebagai ‘teori sosial yang dikonsepsikan dengan intensi praktis’,
merupakan buah pikiran yang muncul dari refleksi yang luas tentang hakikat
pengetahuan, struktur penelitian sosial, dasar normatif interaksi sosial, dan
tendensi-tendensi politis, ekonomis, dan sosio-kultural dari jaman ini (McCarthy,
1978: 1). Habermas juga dinilai sebagai seorang teoritikus neo-marxian, yang
pada tahun-tahun awal karirnya dia secara langsung sudah diasosiasikan dengan
Madzab Kritis. Sekalipun dia memberikan sumbangan penting pada Teori Kritis,
selama bertahun-tahun dia menggabungkan teori marxian dengan banyak
masukan teori yang lain dan menghasilkan serangkaian gagasan teoritis yang
sangat khas (Ritzer, 2003: 132). Habermas adalah juru bicara yang paling kuat
dan berpengaruh sekarang ini dari tradisi Madzab Frankfurt (Miller, 2002: 64).
Dia telah membuat kajian yang paling khusus tentang komitmen epistemologis
dari teori kritis sebagaimana terlihat dalam upaya dia untuk mengembangkan
lebih lanjut garis pemikiran yang telah dibuat oleh pemikir-pemikir Madzab
Frankfurt. Habermas tertarik untuk menunjukkan adanya kaitan antara kekuasaan
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
182
dan pengetahuan dengan memaparkan suatu ‘politik epistemologi’ (Mumby,
dalam: Miller, 2002: 66). Teori Habermas mengungkapkan kebutuhan
epistemologis dan etis bagi adanya suatu komitmen pada sebagian pemikir untuk
secara kritis merefleksikan keyakinan-keyakinan pribadi dan sosialnya (Endres,
1996: 1). Arah aksiologis yang demikian kiranya mampu menjawab kebutuhan
pengembangan ilmu sosial dan juga ilmu humaniora, terlebih ilmu-ilmu
humaniora memiliki kesulitan metodologis khusus yang meski juga diatasi, yakni
bahwa pada ilmu-ilmu humaniora secara umum, dan khususnya pada filsafat,
tidak terdapat sebuah ‘metode’ yang melindungi dari kemungkinan terjadi
kekeliruan ‘metodologis’ sebagaimana misalnya jika dibandingkan dengan
metode yang terdapat pada ilmu-ilmu eksperimental dan statistik (Christman,
2002: 9).
Dengan suatu reorientasi dasariah terhadap cara pandang tentang manusia
dan masyarakatnya, dan orientasi aksiologi sosial yang jelas, perspektif Teori
Kritis Habermas diharapkan mampu pada satu sisi memberikan pijakan kritisakademis
yang memadai dalam analisis sosial, pada sisi lain juga memberikan
pijakan praksis-rasional dalam menjawab berbagai persoalan kemanusiaan yang
mengancam peradaban manusia dewasa ini. Bagi Habermas, masalah yang
mengancam masyarakat modern adalah bagaimana validitas dan legitimasi dari
sebuah tatanan sosial dapat ditetapkan ketika tindakan komunikatif menjadi
otonom dan tindakan strategis yang ditujukan pada kepentingan pribadi mulai
dibedakan dari tindakan komunikatif yang bertujuan untuk meraih pemahaman
?(Marsh, 2001: 21). Bagaimana dapat dunia-hidup yang mengecewakan, yang
secara internal terpilah-pilah, dan yang terplurasi dapat secara sosial
diintegrasikan, jika pada saat yang sama resiko pertikaian bertumbuh, khususnya
dalam ruang-ruang tindakan komunikatif yang telah putus ikatan dengan otoritas
suci dan lepas dari ikatan-ikatan lembaga kuno? (Habermas, 1998: 26).
Dalam rangka menelusuri dan mengungkap secara sistematik teori kritis
Habermas, berikut akan diulas asumsi-asumsi, pendekatan, dan arah teoritis
maupun praksis sosial yang hendak dituju Habermas melalui Teori Kritisnya.
Berturut-turut dipaparkan dasar-dasar dan bangunan ontologi sosial dan
epistemologi sosial dari Teori Kritis Habermas, yang sekalipun bersifat ‘selintas’,
namun diharapkan mampu menyajikan signifikasi pemikiran Habermas bagi
analisis sosial.
ASUMSI-ASUMSI DASAR: ONTOLOGI SOSIAL
Teori Kritis bekerja atas dasar suatu kerangka metateoritis (Miller, 2002:
69). Teori Kritis berpijak pada suatu pandangan umum tentang hakikat realitas
sosial, baik dalam dimensi faktual maupun dimensi normatif. Belajar dan
mengamati realitas-realitas sosial masa lalu dan realitas sosial masa kini
perupakan pijakan penting dalam membangun proyeksi masyarakat yang
diharapkan. Suatu ontologi sosial selalu berdimensi historis –faktual dan
sekaligus proyektif. Suatu pandangan umum tentang hakikat masyarakat akan
membentuk cara pandang terhadap masa lalu dan masa kini, namun sekaligus
Sindung, Teori Kritis Habermas
183
juga mengarah pada proyeksi masyarakat yang dicita-citakan. Pada pendekatan
seperti inilah diusahakan untuk diungkap perspektif ontologi sosial Habermas
tentang masyarakat modern dan masyarakat kapitalisme lanjut.
Berpijak dari pembacaan tentang masyarakat modern yang berjangkar pada
tradisi pencerahan, Habermas melihat beberapa tendensi menindas dari tradisi
Pencerahan sebagaimana secara terbuka telah diserang oleh Postmodernisme,
karenanya dia menolak pendekatan transendental dan idealistik atas rasio.
Habermas ingin menyajikan sebuah konsep rasio yang akan dapat dijadikan
pijakan evaluasi terhadap norma-norma sosial (Endres, 1996: 1). Seluruh proyek
Habermas mengarah pada pembebasan manusia atas segala bentuk penindasan,
termasuk sekalipun penindasan itu dilakukan dalam dan atas nama ‘rasionalitas
modern’. Impresi masa muda Habermas ketika menyaksikan fakta-fakta yang
terungkap dalam pengadilan Nurenberg terkait dengan kejahatan kolektif atas
kemanusiaan, sungguh membentuk pandangan ontis dia tentang seluruh atribut
manusia dan masyarakatnya. Sangat menghentak nurani dan pikiran Habermas,
bagaimana sebuah kebudayaan yang memunculkan tradisi berpikir Kant hingga
Marx yang didominasi oleh tema pembebasan dan realisasi kebebasan dapat
menjadi lahan subur bagi munculnya Hitler dan nazisme. Mengapa Jerman
dahulu tidak menghalangi monster penyakit ini dengan upaya yang lebih kuat
lagi? Impresi atas kekejaman Nazi telah membuat Habermas memikirkan kembali
dan mengapropiasi tradisi pemikiran Jerman yang telah menjadi kacau. Rasio,
kebebasan, dan keadilan bukan hanya merupakan issue yang diekplorasi secara
teoritis, namun merupakan tugas praktis yang meski dicapai. Sebuah tugas praktis
yang menuntut komitmen yang penuh gairah (Bernstein, 1991: 2).
Terdapat konsep-konsep dasar dan asumsi-asumsi dasar yang menjadi
landasan ontis pembacaan Habermas atas realitas sosial. Konsep-konsep tersebut
adalah tentang kepentingan, dunia-hidup, sistem, argumentasi, rasionalitas,
dan kolonisasi dunia-hidup. Adapun asumsi-asumsi dasar yang pokok adalah
hubungan antara kepentingan dan pengetahuan; komunikasi dan bentuk-bentuk
interaksi sosial; dan syarat-syarat ontis adanya konsensus rasional. Berikut
pokok-pokok soal tersebut akan diulas satu per satu.
Kepentingan (Interesse) adalah orientasi dasar yang berakar pada
kemampuan manusia dan menjadi sarana dasariah manusia untuk melestarikan
keberadaannya, dan untuk menentukan dan mengkreasi dirinya sendiri (Howe,
2000: 6). Keterkaitan antara kepentingan dengan pengetahuan, media sosial, dan
ilmu-ilmu secara ringkas digambarkan sebagai berikut (Held, 1980: 255-256;
Habermas, 1971: 301-317; 1973: 7-40; 1984: 4):
Kepentingan terkait
dengan terciptanya
pengetahuan untuk
tujuan:
kepentingan Media social Ilmu-ilmu
Proses-proses kontrol
objektif
teknis Kerja (tindakan instrumental)
Empiris
analitis
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
184
Memelihara
komunikasi
praktis Interaksi (bahasa) Hermeneuti
s-historis
Apresiasi reflektif
tentang ke-hidupan
(dalam rangka
bertindak rasional)
Emansipatoris Kekuasaan (hubungan
asimetris antara
paksaan &
ketergantungan)
Kritis
Sumbangan langsung Habermas pada posisi epistemologis ini adalah
pembedaanya tentang apa yang disebut sebagai ‘kepentingan-kepentingan yang
membentuk pengetahuan’ dalam masyarakat, yakni kepentingan analitis-empiris,
kepentingan hermeneutis-historis, dan kepentingan emansipatoris-kritis. Dengan
mendefinisikan kepentingan-kepentingan yang membentuk pengetahuan ini,
Habermas ingin untuk membuat kita waspada terhadap klaim bahwa pengetahuan
diidentifikasikan melalui kepentingan yang tunggal. Dengan demikian dia
menekankan bahwa pengetahuan ilmiah bukanlah satu-satunya pengetahuan yang
harus diperhitungkan di dunia (Miller, 2002: 66).
Kepentingan kognitif empiris-analitis berakar dalam hasrat teknis untuk
menggunakan kontrol atas dunia fisis dan sosial. Kepentingan kognitif ini
menyatakan bahwa pengetahuan meski terdiri dari hukum-hukum deterministis
dan umum tentang alam dan masyarakat yang dapat digunakan untuk meraih
kontrol teknis atas proses-proses sosial dan fisis sekaligus. Kepentingan kognitif
hermeneutis-historis berakar dalam hasrat untuk memahami keunikan aktivitas
manusia. Kepentingan ini melihat pendekatan positivistis sebagai reduksionistis
dan percaya bahwa pengetahuan meski didasarkan atas teks-teks pertama dan
lokal yang secara historis disituasikan. Kepentingan ini merupakan kepentingan
praktis yang berakar pada kebutuhan-kebutuhan praktis keseharian bagi
bertahannya manusia. Akhirnya, kepentingan kognitif emansipatoris-kritis
melihat pengetahuan sebagai suatu proses refleksi diri yang melalui proses ini
ketegangan-ketegangan dan kedaruratan historis dapat diungkap. Kepentingan ini
merefleksikan ‘tendensi-tendensi alamiah manusia untuk refleksi diri mengarah
pada otonomi dan pemberdayaan’. Dalam makna epistemologis, kepentingan
emansipatoris-kritis dihubungkan dengan kepentingan hermeneutis-historis dalam
arti bahwa keduanya melihat pengetahuan dan makna sebagai sesuatu yang telah
disituasikan secara sosial dan historis. Bagaimanapun, teoritikus-teoritikus kritis
mengenalkan suatu dinamika politis ke dalam representasi historis-hermeneutis
ini melalui konsep-konsep ideologi dan kekuasaan ( Miller, 2002: 67). Kritik
Habermas atas pemahaman manusia tentang pengetahuan ini sesungguhnya
berpijak dari kritiknya terhadap perspektif tentang pengetahuan yang telah
menjadi dominan dalam masyarakat modern, sebagaimana anggapan-anggapan
dasar tentang pengetahuan dalam ilmu.
Habermas melihat adanya masalah ‘apriori’ yang ada pada
pengorganisasian pengalaman manusia yang ada pada semua ilmu, dan juga
terjadi pada pembentukan wilayah-wilayah objek ilmu sebagaimana disajikan
oleh ‘kerangka transendental’. Di dalam ruang fungsional tindakan instrumental
subjek menghadapi objek yang dinamis. Di sini sesuatu, peristiwa, dan kondisiSindung,
Teori Kritis Habermas
185
kondisi secara prinsip dapat dimanipulasi. Dalam interaksi atau komunikasi
intersubjektif kita menghadapi objek yang berbicara dan bertindak sebagai
subjek. Di sini pribadi, tuturan, dan kondisi-kondisi secara prinsip dibangun dan
dipahami secara simbolis. Wilayah objek ilmu-ilmu empiris-analitis dan
hermeneutis didasarkan atas objektifikasi realitas seperti ini, yang setiap harinya
selalu dijalankan dengan titik pandang kontrol teknis atau komunikasi
intersubjektif. Objektivasi realitas ini diungkapkan dengan melalui suatu
komparasi metodologis dari konsep-konsep teoritis, kontruksi logis dalil-dalil,
hubungan antara teori dan wilayah objek, kriteria verifikasi, prosedur pengujian,
dan lain-lain. Melawan semuanya itu, dalam fungsi pragmatis informasi dapat
diproduksi oleh ilmu-ilmu yang berbeda. Terkait dengan fungsi pragmatis,
pengetahuan analitis empiris dapat mengasumsikan bentuk eksplanasi kausal
atau ramalan-ramalan bersyarat yang juga merujuk pada fenomena yang dapat
diamati, adapun pengetahuan hermeneutis merupakan sebuah aturan interpretasi
dari kompleks-kompleks tradisional tentang makna. Dengan demikian terdapat
sebuah hubungan sistematis antara struktur logis dari suatu ilmu dengan struktur
pragmatis dari penerapan yang mungkin dari informasi yang dijabarkan dari
kerangka pikir ilmiah (Habermas, 1973: 8). Dalil bahwa setiap struktur logis
ilmu berkaitan erat dengan fungsi pragmatis dari pengetahuan ilmiah merupakan
pijakan penting dalam bangunan teori kritis Habermas. Dalil tersebut juga
membantu untuk memahami wilayah dan bentuk komunikasi intersubjektif yang
berbeda, yakni ‘dunia-hidup’.
Dunia-hidup (lifeworld) adalah sebuah konsep yang semula digunakan
oleh Alfred Schutz untuk merujuk dunia kehidupan sehari-hari. Schutz terutama
mengkaitkannya dengan hubungan-hubungan intersubjektif dalam dunia hidup,
namun Habermas memiliki suatu ketertarikan yang berbeda tentang dunia hidup.
Habermas pada pokoknya mengkaitkannya dengan komunikasi antar pribadi yang
terdapat dalam dunia hidup. Secara ideal, komunikasi tersebut meski bebas dan
terbuka, dan tidak ada tekanan. Bagi Habermas komunikasi yang bebas dan
terbuka berarti suatu rasionalisasi dalam dunia-hidup. Sekalipun konsep
rasionalisasi telah digunakan dalam maknanya yang negatif, dan dalam konteks
lain Habermas akan menggunakannya secara demikian, dalam lingkup terbatas
dunia-hidup dan komunikasi, rasionaliasasi memiliki konotasi positif. Yang
berinteraksi dengan yang lain akan secara rasional termotivasikan untuk
menerima komunikasi yang bebas dan terbuka , mengarah pada
kesalingpahaman. Metode rasional akan digunakan untuk menerima konsensus.
Konsensus akan muncul pada, dan dipahami dapat dicapai , bilamana argumen
yang lebih baik menang. Dengan kata lain, kekuatan-kekuatan luar seperti
kekuasaan yang lebih besar dari partai tidak akan berperan dalam pencapaian
konsensus. Orang-orang memperdebatkan issue-issue dan konsensus dicapai
hanya berdasarkan pada argumentasi yang paling baik (Ritzer, 2003: 132).
Penting untuk dicatat bahwa Habermas menaruh perhatian pada jenis
tertentu dari komunikasi, yang dia sebut sebagai ‘argumentasi’, yang
didefinisikan sebagai situasi yang menempatkan partisipan dalam komunikasi
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
186
dapat secara kritis mengkaji suatu klaim hipotetis atas validitas ( Habermas,
1990: 85). Habermas dalam rangka menemukan suatu dasar bagi evaluasi klaimklaim
etis hanya menaruh perhatian pada pembicaraan-pembicaraan yang
berkaitan dengan situasi yang menempatkan orang-orang berdiskusi tentang
dapat diterima atau tidaknya suatu praktek etis tertentu. Bagi Habermas
‘argumentasi’ memiliki tiga tahap umum praanggapan, yakni: aras logis, aras
proses dialektis, dan aras proses retoris (Habermas, 1990: 86-94). Pertama, aras
logis dari praanggapan yang berkenaan dengan pembuatan argumen-argumen
yang kuat dan konsisten. Aras ini menuntut pembicara menyingkirkan
kontradiksi-kontradiksi yang ada pada dirinya sendiri dan menerapkan makna
ungkapan secara konsisten. Kedua, pada aras dialogis atau prosedural dari
praanggapan, menuntut orang yang terlibat dalam diskusi tentang suatu klaim
yang problematis mengadopsi suatu sikap hipotetis yang dapat membuat mereka
mempertimbangkan validitas klaim-klaim tanpa menghiraukan kebutuhankebutuhan
langsung dalam situasi tersebut. Sikap hipotetis ini menuntut
partisipan-partisipan dalam argumen mengambil jarak dari perspektif-perspektif
pribadi mereka dan mempertimbangkan persoalan-persoalan yang relevan secara
kritis. Terakhir, pada aras retoris dari praanggapan, menuntut bahwa ‘struktur
situasi pembicaraan bebas dari tekanan dan ketidaksetaraan’ (Habermas, 1990:
87). Karena jenis argumentasi yang digambarkan Habermas menuntut bahwa
persetujuan didorong secara rasional, pengaruh-pengaruh yang jauh dari rasio
tidak dapat dilibatkan dalam putusan-putusan partisipan. Bilamana orang ditekan
atau diperdaya untuk setuju dengan alasan-alasan dari yang lain, pembicaraan
tersebut tidak dapat dinyatakan sebagai ‘argumen’ sebagaimana dijelaskan oleh
Habermas (Andres, 1996:2). Modal penting bagi ‘argumentasi’ adalah pemilahan
dimensi-dimensi dunia-hidup.
Bagi Habermas terdapat tiga dimensi dunia-hidup, yakni: dunia objektif
yang merepresentasikan fakta-fakta yang independen dari pemikiran manusia
dan berfungsi sebagai titik referensi umum untuk menentukan kebenaran; dunia
sosial yang terdiri dari hubungan-hubungan intersubjektif; dan dunia subjektif
dari prngalaman pribadi. Bagi Habermas, pribadi yang dapat memilah tiga aspek
dari pengalaman dan perspektif yang melibatkan mereka, mencapai suatu
pemahaman ‘tak terpusat’ (decentered) dari dunia hidup. Ketidak-berpusatan
membawa orang untuk membedakan persoalan kebenaran, keadilan, dan rasa
secara baik sesuai dengan pandangan-pandangan objektif, sosial, dan subjektif
(Habermas, 1990: 133-141). Ketidak-berpusatan kemudian menjadi sesuai
dengan tahap moral post-konvensional Kholberg yang menempatkan seseorang
pada kemampuan untuk mengatasi kebutuhan-kebutuhan personal dan normanorma
sosial demi pertimbangan masalah-masalah moral secara abstrak (Andres,
1996: 3).
Konsep ‘lepas dari pusat’ bagi Habemas dijelaskan lebih jauh dengan
konsepsinya tentang sikap hipotetis yang merupakan praanggapan hakiki dalam
pemikirannya tentang argumen. Dengan sikap ini, kepercayaan seseorang
terhadap objek, hubungan sosial, dan pengalaman pribadi dapat ditanggalkan
Sindung, Teori Kritis Habermas
187
hingga suatu batas yang memungkinkan orang dapat mempertimbangkan dasardasar
norma yang sedang dipersoalkan. Jika partisipan dalam argumen tidak
dapat , pada tingkat tertentu, meninggalkan komitmen mereka pada beberapa
fakta dan norma-norma tertentu, maka mereka tidak dapat dipertimbangkan sah (
legitimate) terlibat dalam diskusi. Dengan sikap ini, yang diraih melalui ketidakberpusatan
dan penanggalan keyakinan-keyakinan konvensional, seseorang akan
masuk ke dalam sebuah argumen yang disiapkan untuk digerakkan hanya oleh
penalaran atau oleh ‘kekuatan argumen yang lebih baik’ (Habermas, 1990: 158-
159). Dengan melepaskan diri seseorang dari kebutuhan-kebutuhan pribadi,
norma-norma sosial, dan keyakinan-keyakinan yang telah ada, seseorang
diperlengkapi untuk bergerak menuju konsensus yang dimotivasikan secara
rasional tentang validitas norma-norma oleh orang-orang yang berbagi sikap ini
(Andres, 1996: 4).
Konsep Habermas tentang ‘decentered attitude’ memiliki aspek ganda. Pada
satu sisi menghargai orang-orang sebagaimana ia berjangkar pada sejarah pribadi
dan sosialnya. Pada sisi lain, teorinya nampak menuntut orang-orang untuk
membuang komitmen-komitmen rasional dan moral yang telah ada, dan
mempertimbangkannya kembali secara hipotetis bilamana mereka berargumen
dengan orang lain tentang penerimaan atas suatu norma (Endres, 1996: 4).
Habermas melihat usaha tersebut sebagai penjernihan intuisi keseharian
sebagaimana disosialisasikan dan didasarkan secara historis. Dia secara berhatihati
menyatakan bahwa dia tidak mengajukan suatu ‘objektivitas berkelanjutan
dari sikap inter-personal’ (Habermas, 1990: 48). Sungguhpun dunia hidup yang
ditentukan secara kultural merupakan satu-satunya latar berlakang bagi semua
pemikiran dan komunikasi, Habermas menerima bahwa pengamat ilmiah sosial
mengadopsi suatu sikap teoritis tertentu yang memampukannya untuk membawa
diri mereka sendiri mengatasi perspektif-perspektif dunia-hidup, baik yang
terdapat pada praktek kehidupannya sendiri, maupun dunia-hidup yang ia teliti
(Habermas, 1984: 122-123). Sekalipun dia tidak mengorbankan keutamaan
konteks-konteks sosial-historis, dalam menentukan pengetahuan kita, Habermas
menempatkan secara khusus harapan rigorus pada individu dalam kontekskonteks
tertentu untuk mencapai suatu perspektif yang bebas dari kepentingan.
Sebuah perspektif yang mengandaikan dipahaminya persepsi dari orang yang
terkena peraturan. Pertukaran peran secara universal ini mensyaratkan adanya
individu yang melangkah ke luar dari perspektifnya sendiri untuk
mempertimbangkan kebutuhan dari yang lain sementara membiasakan diri pada
kebutuhan-kebutuhan penalaran logis. Komitmen Habermas pada konsensus
membawa lebih jauh pada kenyataan bahwa proses dari ‘tempatkan dirimu dalam
sepatu orang lain’ ini dapat terjadi dalam sebuah cara yang relatif tidak
problematis walau berhadapan dengan perbedaan sosio-kultural (Endres, 1996:
4). Perspektif ontis-epistemis ini oleh Habermas juga nampak pada genealogi
terbentuknya ‘sistem’.
Sistem memiliki sumbernya dalam dunia-hidup, namun ia berkembang
dalam strukturnya sendiri yang berbeda, seperti dalam keluarga, sistem hukum,
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
188
negara, dan ekonomi. Sebagaimana struktur ini terbangun, mereka bertumbuh
membesar berjarak dan terpisah dari dunia-hidup. Seperti dunia hidup, sistem dan
strukturnya mengalami rasionalisasi progresif. Bagaimanapun rasionalisasi dari
sistem memiliki bentuk yang berbeda dengan rasionalisasi dunia hidup.
Rasionalisasi di sini berarti bahwa sistem dan strukturnya bertumbuh kembang
secara berbeda, kompleks, dan mampu memenuhi kebutuhan diri (self-sufficient).
Yang terpenting, kekuatan sistem dan strukturnya bertumbuh dan dengan
kemampuannya mengontrol dan mengarahkan apa yang terjadi dalam dunia
hidup. Kenyataan ini memiliki sejumlah implikasi yang tidak menyenangkan bagi
dunia hidup, dan yang paling penting adalah bahwa sistem mengkolonisasi
(masuk ke dalam) dunia hidup (Ritzer, 2003: 132-133).
Kolonisasi dunia-hidup ini mengambil banyak bentuk, namun tidak satupun
yang lebih penting dari fakta bahwa sistem memaksa dirinya sendiri atas
komunikasi yang terjadi dalam dunia-hidup, dan membatasi kemampuan aktor
untuk berargumentasi melalui dan meraih konsensus di dalam dunia-hidupnya.
Dengan kata lain, struktur rasional dari sistem bukannya mempertinggi kapasitas
untuk berkomunikasi dan mencapai pemahaman dalam konsensus, melainkan
mengancam proses-proses tersebut melalui penggunaan kontrol-kontrol eksternal
atas proses-proses tersebut (Ritzer, 2003: 133). Sebagai contoh, dalam dunia
politik praktis Dewan Perwakilan Rakyat, misalnya, juga menunjukkan bahwa
‘lobi-lobi politik’ merupakan salah satu mekanisme untuk membuka kebuntuan
dialog yang prosedurnya telah diatur secara formal melalui Tatib. Namun apapun
hasilnya, kesepakatan tersebut harus dikembalikan pada bingkai formal Tatib dan
prosedur konstitusional yang ada.
Melalui pandangan-pandangan tentang dunia-hidup dan sistem ini,
Habermas berargumentasi bahwa sementara keduanya berakar pada akar yang
sama, mereka telah terpisahkan satu dari yang lain. Sekali mereka terpisahkan,
adalah mungkin bagi sistem untuk mengkolonisasi dunia hidup. Kolonisasi ini
secara umum memiliki efek-efek merusak pada dunia-hidup, dan khususnya pada
komunikasi dalam dunia-hidup. Komunikasi menjadi semakin kaku, miskin, dan
terfragmentasi. Dunia-hidup itu sendiri didorong pada tepi kehancuran.
Bagaimanapun, sekalipun kolonisasi semakin meluas, dunia-hidup terus berlanjut
(Ritzer, 2003: 133). Kolonisasi dunia-hidup oleh sistem dengan demikian dapat
dibaca pula sebagai marginalisasi ‘sistem informal’ oleh ‘sistem formal’,
penggusuran ‘rasionalitas informal’ oleh ‘rasionalitas formal’.
Yang menjadi masalah bagi Habermas adalah bahwa sistem dan watak
rasionalisasinya telah memperoleh pengaruh yang menguasai atas dunia-hidup
dan bentuk rasionalisasinya yang tersendiri. Pemecahan masalah ini bagi
Habermas terletak pada rasionalisasi, masing-masing dalam caranya sendiri, baik
pada dunia-hidup maupun sistem. Sistem dan strukturnya perlu diikuti dengan
tumbuhnya keanekaragaman dan kompleksitas yang lebih banyak , sementara
dunia hidup perlu dinaikkan statusnya sehingga komunikasi yang bebas menjadi
mungkin dan argumentasi yang lebih baik diijinkan mencapai kemenangan.
Rasionalisasi yang penuh pada keduanya akan mengijinkan dunia-hidup dan
Sindung, Teori Kritis Habermas
189
sistem untuk bersesuaian kembali sedemikian hingga masing-masing
mempertinggi satu dengan yang lain, dari pada memberikan efek-efek negatifnya.
Suatu sistem yang lebih rasional harus digunakan untuk mempertinggi
argumentasi rasional dalam dunia-hidup, bahwa argumentasi meski digunakan
dalam rangka untuk memahami cara-cara perasionalisasian yang lebih jauh dari
sistem. Dengan cara ini dua sistem secara mutual akan saling mempertinggi,
daripada sebagaimana situasi sekarang, sistem merusak atau membuat cacat
dunia hidup (Ritzer, 2003: 134). Bagi Habermas, hubungan dialektis antara
dunia-hidup dan sistem yang mengarah pada terbentuknya konsensus rasional
merupakan perspektif ontis-normatif yang penting untuk membaca realitas sosial.
DARI KRITIK PENGETAHUAN KE KRITIK ILMU: EPISTEMOLOGI
SOSIAL
“The objectivity of knowledge is structurally dependent on the
intersubjective conditions of its communicabillit” (Habermas, 2001: 44).
Bagi Habermas masalah dasar filsafat modern adalah: bagaimana
pengetahuan (Erkenntnis) yang memadai itu mungkin, yang implikasinya
berimbas pada adanya suatu demarkasi metafisis, yang ketika demarkasi itu
berlaku pada ilmu menimbulkan anggapan normatif bahwa ilmu memiliki tempat
serasinya yang sah hanya jika berlandaskan pengetahuan filosofis yang tegas
(Habermas, 1971: 3). Habermas melihat bahwa sejak Kant ilmu tidak lagi secara
serius dirangkum oleh filsafat. Sejak itu ilmu hanya dapat dipahami secara
epistemologis, yang berarti ilmu dianggap sebagai satu kategori dari pengetahuan
yang mungkin (possible knowledge), yang sejauh sebagai pengetahuan ilmu tidak
disamakan secara mencolok dengan pengetahuan absoulut filsafat, dan tidak juga
secara buta disamakan dengan dimensi aktual dari riset. Kedua kecenderungan
tersebut ‘menutup’ dimensi yang membentuk konsep epistemologis ilmu, yang
dengannya ilmu dapat dipahami dalam horizon pengetahuan yang mungkin dan
legitimate (Habermas, 1971: 4). Dengan hanya menonjolkan dimensi kognitif
ilmu, dimensi-dimensi lain yang menjadi ladang tempat bertumbuhnnya akar dan
pohon pengetahuan ilmiah itu telah dikesampingkan dari pemahaman.
Posisi filsafat terhadap ilmu yang sekarang dapat disebut melalui ‘teori
pengetahuan’, menurut Habermas telah diruntuhkan oleh gerakan filsafat itu
sendiri. Filsafat dilepaskan dari posisi ini oleh filsafat itu sendiri. Sejak itu teori
pengetahuan telah digantikan oleh sebuah metodologi yang kosong dari
pemikiran filosofis. Sciencetism menjadi dasar adanya validitas eksklusif, dan
positivisme modern telah menyelesaikan tugas ini dengan sukses yang tak
kentara namun tak terbantahkan (Habermas, 1971: 4-5). Sementara ilmu-ilmu
natural dan kultural/hermeneutis mampu hidup secara mutual dan ko-eksisten,
sekalipun lebih bermusuhan dibandingkan dengan damai, ilmu sosial harus
mengemban ketegangan dari pendekatan-pendekatan yang berbeda dalam satu
atap, yang dalam praktek-praktek riset mereka mendorong refleksi atas hubungan
antara metodologi analitis dan hermeneutis (Habermas, 1996: 3). Gambaran yang
kontras yang menunjukkan tarik-menarik pendekatan analitis dan pendekatan
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
190
hermeneutis dalam kajian ilmiah tentang masyarakat mendorong Habermas untuk
melacak pokok persoalannya pada praanggapan di belakang bangunan kajian
ilmiah maupun filosofis atas masyarakat.
Kajian filsafat sosial sebagaimana disajikan dalam Theory and Praxis
dimaksudkan oleh Habermas sebagai sebuah upaya untuk membuat suatu teori
ilmu yang dapat dilihat dengan jelas, sebuah teori yang dimaksudkan mampu
untuk merangkum secara sistematis syarat-syarat penyusunan ilmu dan
penerapannya (Habermas, 1973: 7). Oleh karenanya, bagi Habermas setiap
diskusi tentang syarat-syarat pengetahuan yang mungkin, saat sekarang, meski
mulai dari posisi yang dihasilkan oleh filsafat ilmu. Kita tidak dapat lagi secara
langsung kembali pada dimensi pengkajian epistemologis. Positivisme secara
tidak reflektif telah melompati dimensi ini, yang menjelaskan mengapa
positivisme secara umum telah mundur di belakang tingkat refleksi sebagaimana
disajikan oleh filsafat Kant. Bagi Habermas nampak sebagai suatu keharusan
untuk menganalisa konteks yang menjadi asal mula ajaran positivistis sebelum
masuk pada diskusi tentang ‘pengetahuan yang mungkin’ (Habermas, 1971: 5).
Habermas mengakui bahwa ke depan, kajian sistematik atas dasar kepentingan
manusia terhadap pengetahuan ilmiah tidak dapat secara abstrak memulihkan
epistemologi. Sesungguhnya ‘pemulihan epistemis’ itu hanya dapat mengantar
kembali pada dimensi yang pertama dibuka oleh Hegel melalui kritik diri yang
radikal terhadap epistemologi yang kemudian sekali lagi dihalangi oleh
positivisme (Habermas, 1971: 5). Dalam rangka mencari pijakan kritik terhadap
epistemologi sosial, Habermas kembali pada Marx.
Hebermas melihat bahwa tujuan-tujuan Materialisme Historis untuk
mencapai suatu eksplanasi tentang evolusi sosial yang sedemikian komprehensif
itu mencakup hubungan imbal-balik antara asal mula teori itu sendiri dengan
penerapannya. Perspektif ini menempatkan subjek dalam masyarakat dimensi
yang berbeda, karena dengan bantuan teori tersebut dapat memperoleh
pencerahan tentang peran emansipatoris subjek dalam proses sejarah. Teori
Materialisme Historis melihat teori itu sendiri sebagai suatu momen katalis yang
niscaya dalam kompleks sosial kehidupan yang dianalisanya, dan kompleksitas
ini dianalisis oleh teori itu sebagai interkoneksi integral dari keharusankeharusan,
dari sudut pandang sublatif (pelenyapan dengan suatu pemindahan
secara logis urutan atau proses yang berikutnya, demikian seterusnya)
(Habermas, 1973: 1-2).
Dengan demikian bagi Habermas teori Materialisme Historis meliputi suatu
hubungan ganda antara teori dan praksis. Atas dasar pijakan tentang hubungan
ganda ini, Teori Kritis dibedakan dari ilmu, sebagaimana juga dibedakan dengan
filsafat. Jika ilmu memusatkan susunan konteks dan wilayah pokok soal yang
mereka hadapi sebagai sosok yang objektivistis, sementara sebaliknya, filsafat
terlalu menaruh kesadaran pada asal-mulanya sebagai sesuatu yang secara
ontologis utama. Dengan mengantisipasi konteks dari aplikasinya sendiri, Teori
Kritis berbeda dengan dengan apa yang oleh Horkheimer sebut sebagai ‘teori
tradisional’. Teori Kritis memahami bahwa klaim-klaimnya terhadap validitas
Sindung, Teori Kritis Habermas
191
dapat diverifikasi hanya dalam suatu proses pencerahan yang berhasil, dan itu
berarti: diskursus praktis yang berkaitan dengan teori tersebut. Teori Kritis
menolak klaim-klaim kontemplatif dari teori yang dibangun dalam bentuk logika
tunggal (monologic). Teori Kritis menilai bahwa semua filsafat yang ada hingga
sekarang, bahkan dengan semua klaim-klaimnya, juga hanya diduga memiliki
watak kontemplatif yang demikian (Habermas, 1973: 2). Aspek kontemplatif dan
sekaligus praksis dari pendekatan kritis inilah yang membedakan Teori Kritis
dengan filsafat yang monologis, namun juga membedakannya dengan analisis
atas dasar kepentingan teknis-praktis saja.
Berbeda dengan doktrin tentang Hukum Kodrat dalam teori-teori politik
klasik, filsafat sosial modern dapat menyatakan klaim-klaimnya tentang
masyarakat dalam status yang ‘lebih baik’ dengan secara serius mengambil sudut
pandang ilmiah. Hal tersebut dilakukan hanya dengan melalui suatu pemisahan
hubungan filsafat sosial dengan unsur-unsur pengalaman yang dipertahankan
oleh filsafat praktis. Filsafat sosial, dengan mengambil bentuk monologis, tidak
lagi mampu secara hakiki dikaitkan dengan praksis, namun hanya melulu terkait
dengan tindakan yang terarah pada tujuan (goal-directed purposive action) yang
diarahkan oleh rekomendasi-rekomendasi teknis-sosial. Dalam kerangka yang
demikian, Materialisme Historis dapat dimengerti sebagai sebuah teori sosial
yang dikonsepsikan dengan sebuah intensi praktis, yang menjauhi kelemahankelemahan
yang saling melengkapi baik dari ilmu politik tradisional dan filsafat
sosial modern. Materialisme historis kemudian menyatukan klaim pada suatu
watak ilmiah dengan suatu struktur teoritis yang mengacu pada praksis. Atas
dasar titik pijak ini Habermas hendak mengklarifikasi lebih jauh tiga aspek
hubungan antara teori dan praksis, yakni, pertama, aspek empiris hubungan
antara ilmu, politik, dan opini publik pada masyarakat kapitalisme lanjut; kedua,
aspek epistemologis hubungan antara pengetahuan dan kepentingan; dan ketiga,
aspek metodologis dari suatu teori sosial dengan tujuan untuk mampu menopang
peran suatu kritik (Habermas, 1973: 3). Atas dasar pijakan ini Habermas melihat
bahwa bertentangan dengan Kant, Hegel mampu untuk menunjukkan refleksi diri
pengetahuan secara fenomenologis sebagai radikalisasi yang niscaya dari kritik
rasio. Namun Hegel tidak membangunnya secara logis dan tenggelam pada
keasyikannya dengan postulat-postulat filsafat identitas. Marx, yang materialisme
historisnnya secara nyata kembali pada gerakan refleksi diri Hegel, salah paham
dengan konsepsinya sendiri dan dengan ini melengkapi disintegrasi teori
pengetahuan. Maka positivisme dapat mengabaikan atau melupakan bahwa
metodologi ilmu dijalin dengan proses pembentukkan diri objektif dari spesies
manusia dan menegakkan absoulutisme metodologi murni atas apa yang
dilupakan dan ditekan (Habermas, 1971: 5). Berrefleksi atas warisan historis
yang demikian, Habermas pertama-tama melakukan kritik terhadap peran subjek
pengetahuan sebagaimana telah diwariskan oleh filsafat Yunani yang mulai
memisahkan Theoria dan Praksis, antara pengetahuan dan kepentingan (Howe,
2000: 7). Kritik tersebut diawali dengan mengkaji keterkaitan antara kepentingan
dan pengetahuan.
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
192
Habermas hendak membangun sebuah teori yang dimaksudkan mampu
merangkum secara sistematis syarat-syarat konstruktif ilmu dan aplikasi dari
ilmu-ilmu tersebut (Habermas, 1973: 7). Sejalan dengan pembedaan antara
kepentingan dan pengetahuan, Habermas melihat adanya tiga kategori
pengetahuan yang masing-masing pararel dengan fungsi dan wujud organisasi
sosial yang berbeda (Howe, 2000: 10), sebagai berikut.
Kategori
pengetahuan
fungsi Sarana organisasi
Sosial
Informasi Memperluas penguasaan teknis Kerja
Interpretasi Membantu memberikan orientasi
tindakan dalam jaringan sosial
Bahasa
analisis Memungkinkan emansipasi
kesadaran
Kekuasaan
Bagi Habermas ilmu dapat menganalisis secara refleksif konteks sosial
yang melekat pada ilmu tidak hanya secara institusional, namun juga secara
metodologis, dan pada saat yang sama menentukan penggunaan informasi yang
dihasilkan secara ilmiah, dan ini merupakan tugas krtitis substantif dari ilmu.
Dengan demikian pada akhirnya penggunaan praktis dari ilmu, penerjemahan
ilmu kedalam teknologi dan strategi, pada satu sisi, dan pada sisi lain ke dalam
praksis komunikatif, juga dapat dipersiapkan secara ilmiah. Ini merupakan tugas
dari ‘prakseologi’ yang masih pada bentuk-bentuk awalnya (Habermas, 1973: 6).
Habermas juga menolak objektivitas ilmu. Ilmu memang dibangun dalam
kerangka kepentingan objektivasi alam dan realitas dalam rangka eksploitasi, dan
dari sini sesungguhnya muncul paradoks bahwa demi teraihnya teori murni,
‘kepentingan’ ditekan dalam rangka melayani ‘kepentingan’ untuk memandang
dunia sebagai sesuatu yang independen dari ‘kepentingan’ (Howe, 2000:6-7).
Sejak ‘klarifikasi’ ini, ilmu-ilmu sosial sungguh-sungguh telah dipisahkan dari
unsur-unsur normatif yang diwarisinya dari ilmu politik klasik. dan dalam rangka
menuju bentuk ‘pengetahuan ilmiah’, filsafat sosial ternyata telah kehilangan
kearifan yang sebelumnya mampu disediakan dalam ilmu politik (Habermas,
1973: 44). Habermas menilai bahwa pembedaan epistemologis yang dilakukan
oleh Vico masih memelihara pembedaan Aristoteles antara ilmu dan kearifan ,
antara episteme dengan phronesis. Tujuan ilmu adalah pencapaian ‘kebenaran
abadi’ dengan melalui pernyataan-pernyataan tentang hal-hal yang selalu dan
pasti terjadi. Sedangkan kearifan praktis hanyalah berkaitan dengan ‘yang
mungkin’, namun dengan kadar teoritisnya yang kurang justru memberikan kadar
kepastian yang lebih tinggi dalam kehidupan praktis (Habermas, 1973: 45).
Pembedaan ini memang seolah mengangkat status ilmiah teori sosial, namun
sesungguhnya mengantar teori sosial pada titik yang semakin jauh dari praksis.
Dari sisi metodologis, terdapat kesan bahwa ilmu sosial dan teori sosial
mengadopsi teknik eksperimental dari tradisi ilmu alamiah. Namun Habermas
melihat hal yang berbeda. Habermas menilai bahwa sebelum metode eksperimen
diperkenalkan dalam ilmu-ilmu alam, dalam teori sosial telah ada abstraksi
Sindung, Teori Kritis Habermas
193
metodologis dengan mencobakan teori atau konsep sosial pada kondisi-kondisi
empiris. Konstruksi teoritis diikuti dengan konstruksi eksperimental pada
kehidupan sosial (Habermas, 1973: 55-56). Dari apa yang telah dikembangcobakan
oleh para filsuf sosial, sesungguhnya telah muncul dan diusahakan –
walau tidak dalam konstruksi metodologis yang purna – penyatuan kembali
antara dimensi teoritis dan dimenasi praksis dalam ilmu-ilmu sosial.
Atas dasar itu, Habermas memandang perlu adanya pengembangan
pendekatan sosial yang berangkat dari epistemologi yang pada satu sisi mampu
mengartikulasikan faktisitas, pada sisi lain juga memberi tempat pada
normativitas. Jawaban itu bagi Habermas ada pada sebuah ‘proyek’ yang disebut
sebagai ‘sosiologi interpretatif’ (interpretive sociology). Walau suatu sosiologi
interpretatif mendasarkan bahasa sebagai subjek dari kehidupan dan subjek dari
tradisi, namun tidak mengikat dirinya sendiri pada praanggapan idealis bahwa
kesadaran yang terartikulasikan secara linguistik menentukan hal-hal materiil dari
paktek hidup. Konteks objektif dari tindakan sosial tidak dapat direduksi pada
dimensi arti intersubjektif ataupun pada makna yang diteruskan secara simbolis.
Bagi Habermas, infra-struktur masyarakat adalah momentum dalam suatu
kompleks, yang walau seperti apa pun dimediasi secara simbolik, juga
merupakan paksaan-paksaan dari realitas; baik dari alam eksternal yang
mengantar pada prosedur eksploitasi teknologis, atau oleh alam internal, yang
direfleksikan dalam tekanan-tekanan hubungan sosial dalam kekuasaan
(Habermas, 1996: 173-174). Dua kategori paksaan internal-eksternal tersebut
tidak hanya merupakan objek dari interpretasi; namun di balik kerangka bahasa,
kategori-kategori tersebut sangat mempengaruhi aturan-aturan gramatikal
berkenaan dengan pemahaman atau interpretasi kita tentang dunia (Habermas,
1996: 174).
Terkait dengan orientasi epistemis yang demikian, Habermas cenderung
menggantikan konsep ontologis tentang ‘dunia’ yang dijabarkan dari tradisi
feno-menologis, dan menerima pasangan konsep ‘dunia’ dan ‘dunia-hidup’.
Habermas mengambil posisi yang demikian karena ia melihat bahwa subjeksubjek
masyarakat yang berpartisipasi dalam kerjasama interpretasi itu sendiri
secara implisit menggunakan konsep ‘dunia’ (world, domain) (Habermas, 1984:
82). Proses dialektis partisipan sebagai subjek dan sekaligus objek bagi tradisi
kultural dalam dunia-hidup ini memiliki peran penting dalam konstruksi
Habermas mengenai tindakan komunikatif. Habermas sendiri – dalam rangka
melawan kecenderungan monologis dalam kajian sosial- cenderung untuk
mengganti ‘interpretasi koginitivistis yang satu sisi’ dari ‘pikiran objektif’ dengan
suatu konsep pengetahuan kultural yang dibedakan menurut beberapa klaim
validitas. Bagi Habermas, pembagian ‘dunia’ menjadi tiga dunia sebagaimana
dilakukan Popper telah memarginalisasikan unsur-unsur non-kognitif dari
kebudayaan, padahal unsur-unsur inilah yang memberikan pemaknaan bagi suatu
teori tindakan sosiologis (Habermas, 1984: 83).
Dengan berpijak dari analisis tentang konsep ‘tiga dunia’ Popper dan Jarvis
yang mengabaikan adanya elemen-elemen kultural yang tidak dapat direduksi
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
194
pada proposisi tentang kebenaran, Habermas menyiapkan jalan bagi tesis bahwa
dengan memilih suatu konsep sosiologis yang khusus tentang tindakan, kita
secara umum telah membuat asumsi-asumsi ‘ontologis’ tertentu. Dengan
demikian aspek-aspek dari rasionalitas yang mungkin dari tindakan bergantung
pada relasi-relasi yang kita pertalikan padanya. Atas dasar ‘pegangan ontis’
tersebut, Habermas melihat bahwa kebanyakan konsep-konsep tindakan yang
diberlakukan dalam teori-teori sosial secara hakiki dapat dibedakan secara
analitis dalam empat dasar konsep tindakan, yakni: pertama tindakan teleologis
yang juga diperluas pada suatu model strategis. Model tindakan ini ada di
belakang pendekatan-pendekatan teori-putusan dan teori-permainan dalam ilmu
ekonomi, sosiologi, dan psikologi sosial. Kedua, tindakan yang diatur secara
normatif. Model tindakan normatif ini ada di belakang teori peran yang diterima
luas dalam sosiologi. Ketiga, tindakan dramaturgis, yang terutama muncul pada
deskripsi fenomenologis tentang interaksi, namun sudah tidak dikembangkan lagi
lebih jauh menjadi suatu pendekatan teoritis yang diperluas. Keempat, konsep
tindakan komunikatif yang merujuk pada interaksi dari setidaknya dua subjek
yang mampu berwicara dan bertindak , dan oleh karenanya memantapkan
hubungan-hubungan interpersonal, baik secara verbal maupun ekstraverbal. Pada
model tindakan ini aktor-aktor berusaha meraih pemahaman tentang situasi
tindakan melalui persetujuan. Konsep sentral dari interpretasi merujuk pada
usaha pertama untuk membicarakan atau menegosiasikan batasan situasi yang
membuka terjadinya konsensus. Sebagaimana akan terlihat, bahasa diberi tempat
yang utama dalam model ini (Habermas, 1984: 85-86).
Sebagaimana sekilas telah dipaparkan, keempat model tersebut semuanya
terkait dengan nilai atau sistem nilai tertentu. Namun dalam tiga model yang
pertama, tindakan sosial hanyalah merupakan sarana untuk mencapai nilai
tertentu di luar tindakan sosial itu sendiri, baik terkait dengan tujuan strategis
tertentu, sistem normatif tertentu, atau tujuan-tujuan subjektif tertentu. Pada
model keempat, yakni tindakan komunikatif, ‘tindakan’ yang mengarah pada
terbangunnya komunikasi menuju pemahaman dan persetujuan itu sendiri sudah
menjadi orientasi nilai. Dimensi ‘tindakan yang berorientasi pada nilai
konsensual’ ini menjadi landasan penting bagi bangunan Teori Kritis Habermas.
Teorema tersebut menjadi dasar untuk membongkar ‘asumsi-asumsi metafisisepistemis’
yang ada di balik bangunan teori sosial, namun sekaligus menjadi
pijakan dasar bagi dibangunnya teori sosial yang emansipatoris.
Pokok perhatian Habermas sendiri sesungguhnya lebih pada implikasiimplikasi
rasionalitas yang terkait dengan strategi-strategi konseptual. Namun
Habermas melihat bahwa tindakan teleologis, tindakan yang diatur secara
normatif, dan tindakan dramaturgis tetap mengandaikan adanya praanggapan
ontologis tentang dunia. Tindakan teleologis mengandaikan ‘satu dunia’,
sedangkan tindakan yang diatur secara normatif dan tindakan dramaturgis
mengandaikan adanya ‘dua dunia’ (Habermas, 1984: 87-94). Agak berbeda
dengan ketiganya, konsep tindakan komunikatif menambahkan praanggapan
tentang suatu medium linguistis yang merefleksikan hubungan antara aktor dan
Sindung, Teori Kritis Habermas
195
dunia apa adanya. Habermas melihat bahwa memang dalam tiga model yang lain
bahasa juga memiliki peran, namun dalam ketiganya bahasa hanya dikonsepsikan
secara ‘satu sisi’ (Habermas, 1984: 94). Bagi Habermas hanya pada model
tindakan komunikatif-lah yang mengandaikan bahasa sebagai suatu medium dari
komunikasi yang terbuka yang menempatkan pembicara dan pendengar --
terlepas dari konteks dunia-hidup yang menjadi jangkar interpretasi mereka --
secara simultan merujuk pada hal-hal yang terdapat dalam dunia objektif, dunia
sosial, dan dunia subjektif dalam rangka untuk menegosiasikan batasan umum
dari situasi tindakan. Konsep interpretatif bahasa ini bagi Habermas merupakan
latar belakang untuk membangun suatu formal pragmatics (Habermas, 1984: 95).
Atas dasar paparan singkat di atas, landasan epistemis dari Teori Kritis
Habermas dalam membaca realitas sosial adalah: pertama, dimensi teoritis dan
praksis dalam konstruksi dan metodologi ilmu sosial tidak dapat dipisahkan.
Tuntutan praksis sosial tidak boleh mengorbankan ketegaran teoritis, sebaliknya,
keketatan ilmiah tidak boleh mengabaikan dimensi praksis dari teori sosial.
Kedua, problem ‘kepastian pengetahuan’ yang pada satu sisi terkait dengan
‘perangkat epistemis’ pemahaman sosial dan pada sisi lain juga terkait dengan
masalah ‘universalitas’ dan ‘partikularitas’ diatasi Habermas melalui konsep
‘tindakan komunikatif’ yang memberi artikulasi khusus pada media linguistik.
Ketiga, secara hakiki Teori Kritis juga merupakan aksiologi sosial, dalam arti
pendekatan tersenut membawa kajian sosial pada tawaran normatif tentang arah
yang meski dituju untuk membangun masyarakat.
PENUTUP
Hari ini perjuangan antara keyakinan yang berbeda yang digambarkan
Weber dalam diagnosisnya yang terkenal pada waktu ini telah mendapatkan
bentuk politisnya yang langsung sebagai suatu benturan antar kebudayaan
(Habermas, 2001: 30). Banyak pemikir menyalahkan bahwa usaha-usaha yang
didasarkan pada semangat Pencerahan untuk mencari kebenaran dan rasio
universal atas nama kebebasan dapat membawa pada penyingkiran dan
penekanan terhadap paradigma pikir yang lain (Endres, 1996: 1). Efek negatif
semangat Pencerahan yang mendorong eksploitasi alam dan penindasan manusia
memang dapat dibaca sebagai ‘bencana’, namun ‘jiwa murni’ dari Pencerahan,
sebagaimana dibaca dengan jernih oleh Hebermas, adalah emansipasi. Habermas
secara nyata telah menerapkan cara berpikir dengan garis yang berbeda dengan
jalan pemikiran Pencerahan yang tradisional sebagaimana dilakukan Kant, yang
tidak menaruh perhatian pada kepentingan individu yang khusus (Endres, 1996:
2).
Teori besar Habermas berbicara tentang kolonisasi dunia-hidup oleh sistem,
dan halangan komunikasi yang bebas dan terbuka. Dunia hidup adalah kenyataan
komunikasi keseharian. Sistem bersumber pada dunia hidup, namun kemudian
mengembangkan strukturnya sendiri yang tumbuh semakin berjarak dan terpisah
dari dunia hidup (Ritzer, 2003: 144). Sekalipun terdapat persoalan ‘ontoepistemis’
yakni terkait dengan ‘ketidakmungkinan’ bahwa partisipan dalam
Jurnal Filsafat, Agustus 2003, Jilid 34, Nomor 2
196
argumen dapat secara lengkap menghilangkan kepentingan pribadi, pemikiran
kritis tetaplah produktif dalam usaha mereka untuk membawa unsur-unsur tak
terkatakan dari pemikiran ke dalam realitas pertimbangan dan diskursus (Andres,
1996: 6). Bagaimana pun tawaran Teori Kritis terletak pada dimensi ‘metateori’,
yakni berbicara tentang kerangka di balik paradigma analisis dan praksis sosial.
Banyak dimensi pemikiran Habermas yang belum diungkap dalam paper
singkat ini, namun bangunan dasar Teori Kritis dalam konteks ontologis dan
epistemologis telah diusahakan untuk dipaparkan. Terdapat beberapa masalah
yang masih terbuka, termasuk tuduhan ‘inkonsistensi’ Habermas terhadap
‘semangat emansipatoris’ yang muncul dalam Between Facts and Norms. Juga
beberapa issue tentang globalisme dan identitas budaya. Untuk kajian yang lebih
suntuk, sungguh memerlukan ruang lain yang memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Bernstein, Richard J., ed.,1985/1991, Habermas and Modernity, The MIT Press,
Cambridge, Massachusetts
Christman, John, 2002, Social and Political Philosophy, A contemporary
introduction, Routledge, London & New York
Endres, Ben, 1996, Habermas and Critical Thinking, http: //www.ed.uiuc.
edu/EPS-Yearbook/96_docs/endres.html
Habermas, Jürgen, 1971, Knowledge and Human Interest (asli: 1968, ‘Erkenntnis
und Interesse, transl. by Jeremy J. Saphiro), Beacon Press, Boston
Habermas, Jürgen, 1973, Theory and Practice (asli: 1971, ‘Theorie und Praxis’,
transl by John Viertel), Polity Press, Cambridge
Habermas, Jürgen, 1984, The Theory of Communicative Action, Volume One:
Reason and Rationalization of Society (asli: 1981, ‘Theorie des
Kommunikativen Handelns, Band I: Handlungsrationalität und
gesellshaftliche Rationalisierung’, transl by Thomas McCarthy), Beacon
Press, Boston
Habermas, Jürgen, 1990, Moral Consciousness and Communicative Action (asli:
1983, ‘Moralbewusstsein und kommunikativen Handeln’, transl by
Christian Lenhart & Shierry Weber Nicholson, introduction by Thomas
McCharty), Polity Press, Cambridge
Habermas, Jürgen, 1996, On Logic of the Social Sciences, MIT Press,
Cambridge
Habermas, Jürgen, 1998/1996, Between Facts and Norms: Contributions to a
Discourse Theory of Law and Democracy (asli: 1992, ‘Faftizität und
Geltung: Beitrage Zur Diskurstheorie Des Rechts und Des Demokratischen
Rechtsstaats’, transl and introduction by William Regh), MIT Press,
Cambridge
Habermas, Jürgen, 2001, The Liberating Power of Symbols, Philosophical essays,
Polity Press, Cambridge
Held, David, 1980, Introduction to Critical Theory, Horkheimer to Habermas,
University of California Press, Berkeley
Heath, Joseph, 2003, Communicative Action and Rational Choice, MIT Press,
Sindung, Teori Kritis Habermas
197
Cambridge
Howe, Leslie, A., 2000, On Habermas, Wadsworth/Thomson Learning, Belmont
Marsh, James L., 2001, Unjust Legality, A Critique of Habermas’s philosophy of
law, Rowman & Littlefoeld, Lahman
McCarthy, Thomas, 1978, The Critical Theory of Jürgen Habermas, The MIT
Press, London
Miller, Katherine, 2002, Communications Theories: Perspectives, Processes, and
Contexs, McGraw Hill, Boston
Ritzer, George, 2003, Contemporary Sociological Theory and Its Classical Roots,
The Basics, McGraw Hill, Boston